PERENCANAAN
PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
TUGAS RESUME
MATA
KULIAH PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DOSEN
PENGAMPU
Dr.
ACHMAD FAQIH., Ir., MM
Oleh
:
Maslikha
112120041
PROGRAM
STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah Swt, yang telah melimpahkan rahmat
dan hidyah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas resume ini.
Tujuan penyusunan tugas resume ini adalah untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pemberdayaan
Masyarakat di Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Swadaya Gunung
Jati, Cirebon.
Ucapan terima kasih penyusun ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu
penyusun dalam menyelesaikan tugas praktikum ini,
Penyusun menyadari bahwa penyusunan tugas resume ini jauh dari kata
sempurna baik dari segi isi maupun sistematika penyusunannya. Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penyusun harapkan
untuk perbaikan penyusunan tugas resume yang akan datang.
Akhir
kata penyusun berharap semoga penyusunan tugas praktikum ini bisa berguna dan bermanfaat
bagi kita semua. Amin.
Cirebon, 17
Oktober 2016
Penyusun
I.
Pendahuluan
1.1
Pengertian
Pemberdayaan Masyarakat
Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian
pemberdayaan mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan
bidang kajian, hal tersebut dikarenakan belum ada definisi yang tegas mengenai konsep
pemberdayaan. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara
mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat
para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat.
Pertama akan kita
pahami pengertian tentang pemberdayaan. Menurut Sulistiyani (2004 : 77) secara
etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan
atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat
dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses pemberian daya
(kekuatan/kemampuan) kepada pihak yang belum
berdaya. Kedua pengertian tentang masyarakat, menurut Soetomo (2011 :
25) masyarakat adalah sekumpulan orang yang saling berinteraksi secara
kontinyu, sehingga terdapat relasi sosial yang terpola, terorganisasi.
Dari kedua definisi
tersebut bila digabungkan dapat dipahami makna pemberdayaan masyarakat. Namun
sebelum kita tarik kesimpulan, terlebih dahulu kita pahami makna pemberdayaan
masyarakat menurut para ahli. Menurut Moh. Ali Aziz, dkk (2005 : 136) :
“Pemberdayaan
masyarakat merupakan suatu proses di mana masyarakat, khususnya mereka yang
kurang memiliki akses ke sumber daya pembangunan, didorong untuk meningkatkan
kemandiriannya di dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Pemberdayaan
masyarakat juga merupakan proses siklus terus-menerus, proses partisipatif di
mana anggota masyarakat bekerja sama dalam kelompok formal maupun
informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai
tujuan bersama. Jadi, pemberdayaan masyarakat lebih merupakan suatu proses”.
Selanjutnya pemaknaan
pemberdayaan masyarakat menurut Madekhan Ali (2007 : 86) yang mendefinisikan
pemberdayaan masyarakat sebagai berikut ini :
“Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah
bentuk partisipasi untuk membebaskan diri mereka sendiri dari ketergantungan
mental maupun fisik. Partisipasi masyarakat menjadi satu elemen pokok dalam
strategi pemberdayaan dan pembangunan masyarakat, dengan
alasan; pertama, partisipasi masyarakat merupakan satu perangkat
ampuh untuk memobilisasi sumber daya lokal, mengorganisir serta membuka tenaga,
kearifan, dan kreativitas masyarakat.Kedua, partisipasi masyarakat juga
membantu upaya identifikasi dini terhadap kebutuhan masyarakat”.
Mengacu
pada pengertian dan teori para ahli di atas, dalam penelitian ini pemberdayaan
dapat diartikan sebagai upaya membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya sehingga masyarakat dapat
mencapai kemandirian. Kemudian dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat
adalah upaya untuk meningkatkan daya atau kekuatan pada masyarakat dengan cara
memberi dorongan, peluang, kesempatan, dan perlindungan dengan tidak mengatur
dan mengendalikan kegiatan masyarakat yang diberdayakan untuk mengembangkan
potensinya sehingga masyarakat tersebut dapat meningkatkan kemampuan dan
mengaktualisasikan diri atau berpartisipasi melalui berbagai aktivitas.
1.2
Tujuan Pemberdayaan
Masyarakat
Tujuan yang ingin
dicapai dari pemberdayaan masyarakat menurut Sulistiyani (2004 :
80) adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri.
Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak, dan
mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Untuk mencapai kemandirian
masyarakat diperlukan sebuah proses. Melalui proses belajar maka secara
bertahap masyarakat akan memperoleh kemampuan atau daya dari waktu ke waktu.
Berikut tujuan
pemberdayaan menurut Tjokowinoto dalam Christie S (2005: 16) yang dirumuskan
dalam 3 (tiga) bidang yaitu ekonomi, politik, dan sosial budaya “Kegiatan
pemberdayaan harus dilaksanakan secara menyeluruh mencakup segala aspek
kehidupan masyarakat untuk membebaskan kelompok masyarakat dari dominasi
kekuasan yang meliputi bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Konsep
pemberdayaan dibidang ekonomi adalah usaha menjadikan ekonomi yang kuat, besar,
mandiri, dan berdaya saing tinggi dalam mekanisme pasar yang besar dimana
terdapat proses penguatan golongan ekonomi lemah. Sedang pemberdayaan dibidang
politik merupakan upaya penguatan rakyat kecil dalam proses
pengambilan keputuan yang menyangkut kehidupan berbangsa dan
bernegara khususnya atau kehidupan mereka sendiri. Konsep pemberdayaan
masyarakat di bidang sosial budaya merupakan upaya penguatan rakyat kecil
melalui peningkatan, penguatan, dan penegakan nilai-nilai, gagasan,
dan norma-norma, serta mendorong terwujudnya organisasi sosial yang
mampu memberi kontrol terhadap perlakuan-perlakuan politik dan ekonomi yang
jauh dari moralitas”.
Dari paparan tersebut
dapat kita simpulkan bahwa tujuan pemberdayaan adalah memampukan dan
memandirikan masyarakat terutama dari kemiskinan, keterbelakangan, kesenjangan,
dan ketidakberdayaan. Kemiskinan dapat dilihat dari indikator pemenuhan
kebutuhan dasar yang belum mencukupi/layak. Kebutuhan dasar itu, mencakup pangan,
pakaian, papan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Sedangkan
keterbelakangan, misalnya produktivitas yang rendah, sumberdaya manusia yang
lemah, kesempatan pengambilan keputusan yang terbatas.
Kemudian ketidakberdayaan adalah
melemahnya kapital sosial yang ada di masyarakat (gotong royong, kepedulian,
musyawarah, dan kswadayaan) yang pada gilirannya dapat mendorong pergeseran
perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan,
dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara bersama.
1.3
Strategi
dan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat
Berdasar pendapat
Sunyoto Usman (2003 : 40-47 ) ada beberapa strategi yangdapat menjadi
pertimbangan untuk dipilih dan kemudian diterapkan dalam pemberdayaan
masyarakat, yaitu menciptakan iklim, memperkuat daya, dan melindungi.
Dalam upaya
memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu
; pertama, menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik
tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia memiliki potensi atau daya yang
dapat dikembangkan.Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering), upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan
derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti
modal, lapangan kerja, dan pasar. Ketiga, memberdayakan mengandung pula
arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi
bertambah lemah.
Berbicara tentang
pendekatan, bila dilihat dari proses dan mekanisme perumusan program
pembangunan masyarakat, pendekatan pemberdayaan cenderung mengutamakan alur
dari bawah ke atas atau lebih dikenal pendekatanbottom-up. Pendekatan ini
merupakan upaya melibatkan semua pihak sejak awal, sehingga setiap keputusan yang
diambil dalam perencanaan adalah keputusan mereka bersama, dan mendorong
keterlibatan dan komitmen sepenuhnya untuk melaksanakannya.
Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan
dalam rangka perencanaan dan penentuan kebijakan, atau dalam pengambilan keputusan.
Model pendekatan dari bawah mencoba melibatkan masyarakat dalam setiap tahap
pembangunan. Pendekatan yang dilakukan tidak berangkat dari luar melainkan dari
dalam. Seperangkat masalah dan kebutuhan dirumuskan bersama, sejumlah nilai dan
sistem dipahami bersama. Model bottom memulai dengan situasi dan kondisi serta
potensi lokal. Dengan kata lain model kedua ini menampatkan manusia sebagai
subyek. Pendekatan “bottom up” lebih memungkinkan penggalian dana masyarakat
untuk pembiayaan pembangunan. Hal ini disebabkan karena masyarakat lebih merasa
“memiliki”, dan merasa turut bertanggung jawab terhadap keberhasilan
pembangunan, yang nota bene memang untuk kepentingan mereka sendiri. Betapa pun
pendekatan bottom-up memberikan kesan lebih manusiawi dan memberikan
harapan yang lebih baik, namun tidak lepas dari kekurangannya, model ini
membutuhkan waktu yang lama dan belum menemukan bentuknya yang mapan.
1.4
Prinsip-prinsip
Pemberdayaan Masyarakat
Untuk
melakukan pemberdayaan masyarakat secara umum dapat diwujudkan dengan
menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan masyarakat, sebagai berikut :
a. Belajar
Dari Masyarakat Prinsip
yang paling mendasar adalah prinsip bahwa untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat. Ini berarti, dibangun pada
pengakuan serta kepercayaan akan nilai dan relevansi pengetahuan tradisional
masyarakat serta kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah-masalahnya
sendiri.
b. Pendamping
sebagai FasilitatorMasyarakat sebagai Pelaku Konsekuensi dari prinsip pertama
adalah perlunya pendamping menyadari perannya sebagai fasilitator dan bukannya
sebagai pelaku atau guru. Untuk itu perlu sikap rendah hati serta ketersediaan
untuk belajar dari masyarakat dan menempatkan warga masyarakat sebagai narasumber
utama dalam memahami keadaan masyarakat itu. Bahkan dalam penerapannya
masyarakat dibiarkan mendominasi kegiatan. Kalaupun pada awalnya peran
pendamping lebih besar, harus diusahakan agar secara bertahap peran itu bisa
berkurang dengan mengalihkan prakarsa kegiatan-kegiatan pada warga masyarakat
itu sendiri.
c. Saling
Belajar Saling Berbagi Pengalaman Salah satu
prinsip dasar pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat adalah pengakuan akan
pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat. Hal ini bukanlah berarti
bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah. Kenyataan
objektif telah membuktikan bahwa dalam banyak hal perkembangan pengalaman dan
pengetahuan tradisional masyarakat tidak sempat mengejar perubahan-perubahan
yang terjadi dan tidak lagi dapat memecahkan masalah-masalah yang berkembang.
Namun sebaliknya, telah terbukti pula bahwa pengetahuan modern dan inovasi dari
luar yang diperkenalkan oleh orang luar tidak juga memecahkan masalah mereka.
II.
Pengertian Perencanaan Program
Perencanaan Masyarakat
2.1
Pengertian
Perencaan
Perencanaan
menurut Abe (2001) dalam Ovalhanif (2009) adalah susunan (rumusan) sistematik
mengenai langkah-langkah mengenai langkah (tindakan-tindakan) yang akan
dilakukan di masa depan, dengan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang
seksama atas potensi, faktor-faktor eksternal dan pihak-pihak yang
berkepentingan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut
Tjokroamidjojo (1995) dalam Ovalhanif (2009) mendefinisikan perencanaan sebagai
suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya (maksimum output) dengan
sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien dan efektif. Selanjutnya dikatakan
bahwa, perencanaan merupakan penentuan tujuan yang akan dicapai atau yang akan
dilakukan, bagaimana, bilamana dan oleh siapa.
Menurut Terry
(1960) dalam Mardikanto (2010), perencanaan diartikan sebagai suatu proses
pemilihan dan menghubung-hubungkan fakta, serta menggunakannya untuk menyusun
asumsi-asumsi yang diduga bakal terjadi di masa datang, untuk kemudian
merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan demi tercapainya tujuan-tujuan yang
diharapkan.
Perencanaan juga
diartikan sebagai suatu proses pengambilan keputusan yang berdasarkan fakta,
mengenai kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya tujuan yang
diharapkan atau yang dikehendaki.
Sesuai dengan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, maka Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup lima pendekatan
yaitu: (1) politik, (2) teknokratik, (3) partisipatif, (4) atas-bawah
(top-down), (5) bawah-atas (bottom-up). Ahli-ahli teori perencanaan publik
mengemukakan beberapa proses perencanaan (1) perencanaan teknokrat; (2)
perencanaan partisipatif; (3) perencanaan top-down; (4) perencanaan bottom up
(Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 1996).
1.
Perencanaan teknokrat
Menurut Suzetta
(2007) adalah proses perencanaan yang dirancang berdasarkan data dan hasil
pengamatan kebutuhan masyarakat dari pengamat professional, baik kelompok masyarakat
yang terdidik yang walau tidak mengalami sendiri namun berbekal pengetahuan
yang dimiliki dapat menyimpulkan kebutuhan akan suatu barang yang tidak dapat
disediakan pasar, untuk menghasilkan perspektif akademis pembangunan. Pengamat
ini bisa pejabat pemerintah, bisa non-pemerintah, atau dari perguruan tinggi.
Menurut
penjelasan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, “perencanaan teknokrat dilaksanakan dengan menggunakan
metoda dan kerangka pikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara
fungsional bertugas untuk itu”.
2.
Perencanaan
partisipatif
Menurut
Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (1996) adalah proses perencanaan yang diwujudkan
dalam musyawarah ini, dimana sebuah rancangan rencana dibahas dan dikembangkan
bersama semua pelaku pembangunan (stakeholders). Pelaku pembangunan berasal
dari semua aparat penyelenggara negara (eksekutif,legislatif, dan yudikatif),
masyarakat, rohaniwan, dunia usaha, kelompok profesional, organisasi-organisasi
non-pemerintah.
Menurut
Sumarsono (2010), perencanaan partisipatif adalah metode perencanaan
pembangunan dengan cara melibatkan warga masyarakat yang diposisikan sebagai
subyek pembangunan.
Menurut
penjelasan UU. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional:
“perencanaan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang
berkepentingan terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan
aspirasi dan menciptakan rasa memiliki”. Dalam UU No. 25 Tahun 2004, dijelaskan
pula “partisipasi masyarakat” adalah keikutsertaan untuk mengakomodasi
kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.
3.
Perencanaan top down
Menurut Suzetta
(1997) adalah proses perencanaan yang dirancang oleh lembaga/departemen/daerah
menyusun rencana pembangunan sesuai dengan wewenang dan fungsinya.
4.
Perencanaan bottom up
Menurut
(www.actano.com) adalah planning approach starting at the lowest hierarchical
level and working upward (pendekatan perencanaan yang dimulai dari tingkatan
hirarkis paling rendah menuju ke atas).
Selain
itu, menurut penjelasan UU 25 Tahun 2004, pendekatan atas-bawah (top down) dan
bawah-atas (bottom up) dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang
pemerintahan. Rencana hasil proses diselaraskan melalui musyawarah yang
dilaksanakan di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan
Desa.
2.2
Tujuan
Perencanaan
Tujuan
perencanaan menurut Stephen Robbins dan Mary Coulter dalam Wikipedia adalah (1)
memberikan pengarahan yang baik; (2) mengurangi ketidakpastian; (3) meminimalisir
pemborosan; (4) menetapkan tujuan dan standar yang digunakan dalam fungsi
selanjutnya yaitu proses pengontrolan dan evaluasi.
Tujuan
perencanaan dari masing-masing proses perencanaan sebagai berikut:
1.
Perencanaan teknokrat
Tujuannya untuk membangun perencanaan
strategis dan perencanaan kontingensi, menetapkan ketentuan-ketentuan, standar,
prosedur petunjuk pelaksanaan serta evaluasi, pelaporan dan langkah taktis
untuk menopang organisasi (Tomatala, 2010).
2.
Perencanaan
partisipatif
Tujuannya
agar masyarakat diharapkan mampu mengetahui permasalahannya sendiri di
lingkungannya, menilai potensi SDM dan SDA yang tersedia, dan merumuskan solusi
yang paling menguntungkan.
3. Perencanaan
top down
Tujuannya
adalah untuk menyeragamkan “corak”, karena perencanaan top down menurut
Djunaedi (2000) dalam kegiatan perencanaan kota dan daerah dilakukan dengan
mengacu pada corak yang seragam yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan
mengikuti “juklak dan juknis” (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis).
4. Perencanaan
bottom up
Tujuan
adalah untuk menghimpun masukan dari “bawah”, karena menurut Sumarsono (2010),
apabila di Indonesia perencanaan bottom up dimulai dari tingkat desa, yang
biasanya dihadiri oleh mereka yang ditunjuk peraturan perundangan ataupun
kebijakan lain, misalnya melalui kegiatan Musyawarah Pembangunan Desa
(Musbangdes) atau Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
2.3
Prinsip
Perencanaan
Secara umum
prinsip perencanaan menurut Abe dalam Ovalhanif (2009) adalah:
1.
Apa yang akan
dilakukan, yang merupakan jabaran dari visi dan misi;
2.
Bagaimana mencapai hal
tersebut;
3.
Siapa yang melakukan;
4.
Lokasi aktivitas;
5.
Kapan akan dilakukan,
berapa lama;
6.
Sumber daya yang
dibutuhkan.
Sedangkan
menurut Sumarsono (2010) prinsip perencanaan teknokrat dan partisipatif,
dijelaskan sebagai berikut: pertama, prinsip perencanaan teknokrat yaitu
dilakukan secara sepihak oleh para teknokrat yang duduk di struktur pemerintah,
tidak melibatkan warga masyarakat, sehingga perencanaan pembangunan biasanya
justru tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan, karena seringkali jauh
dari harapan dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat dibiarkan menjadi penonton
saja. Kedua, prinsip perencanaan partisipatif yaitu masyarakat sebagai subyek
pembangunan dalam arti memberikan peluang masyarakat untuk menggunakan hak-hak
politiknya untuk memberikan masukan dan aspirasi dalam penyusunan perencanaan
pembangunan.
2.4
Filosofi
Perencanaan Program
Menurut
Ovalhanif (2009), “filsafat perencanaan” adalah suatu studi tentang
prinsip-prinsip dalam proses dan mekanisme perencanaan secara mendalam, luas,
dan menyeluruh berdasarkan filsafat antologis, epistemologis, dan aksiologis.
Filsafat
perencanaan juga diharapkan akan dapat menguraikan beberapa komponen penting
perencanaan dalam sebuah perencanaan yakni tujuan apa yang hendak dicapai,
kegiatan tindakan-tindakan untuk merealisasikan tujuan dan waktu kapan bilamana
tindakan tersebut hendak dilakukan.
Kerangka
pikir dari filosofi perencanaan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Strategi perencanaan
adalah untuk membentuk/membuat suatu konsep/konteks untuk keputusan dalam
kelembagaan;
2.
Tujuan dan proses
perencanaan adalah untuk merumuskan arah pelembagaan dan berusaha untuk lebih baik;
3.
Hasil yang diinginkan
dari proses perencanaan adalah untuk menyajikan suatu dokumen yang penting,
berguna bagi semua orang.
Filosofi
perencanaan strategis mengandung visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan,
program dan kegiatan yang realitas dengan mengantisipasi perkembangan masa
depan.
1.
Filosofi Perencanaan
Teknokrat
a. Dilaksanakan
oleh kelompok teknorat;
b. Keberadaan
dimensi politik sebagai elemen yang secara signifikan mempengaruhi proses dan
hasil perencanaan;
c. Perencanaan
dipersepsikan menjadi sebagai alat pengambilan keputusan yang bebas nilai dan
tidak ada urusannya dengan kepentingan dan proses politik yang dilakukan oleh
para politikus dan pengambil keputusan. Politik sebagai elemen bebas yang
menganggu keseimbangan dalam proses perencanaan yang terjadi;
d. Menempatkan
masyarakat sebagai objek rekayasa dan politik sebagai sebuah elemen irasional
dan varian yang harus dihindari;
e. Produk
perencanaan memiliki posisi yang sangat signifikan dalam mentransformasi
masyarakat.
2.
Filosofi Perencanaan
Partisipatif
Menekankan
adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan mulai
dari pengenalan wilayah, pengidentifikasian masalah sampai penentuan skala
prioritas.
3.
Filosofi Perencanaan
top down
a. Dilaksanakan
oleh sekelompok elite politik;
b. Melibatkan
lebih banyak teknokrat;
c. Mengandalkan otoritas dan diskresi;
d. Mempunyai
argumen untuk meningkatkan efisiensi, penegakan peraturan, konsistensi
input-target-output, dan publik/ masyarakat masih sulit dilibatkan.
4.
Filosofi Perencanaan
bottom up
a. Dilaksanakan
secara kolektif;
b. Mengandalkan
persuasi;
c. Mempunyai
argumen untuk meningkatkan efektivitas, meningkatkan kinerja (performance,
outcome), merupakan social virtue (kearifan sosial), serta masyarakat
diasumsikan sudah paham hak-hak dan apa yang mereka butuhkan.
III. Arti Penting Perencanaan Program
Pemberdayaan Masyarakat
Perencanaan program pemberdayaan
sangat penting untuk dilakukan demi keberhasilan program tersebut. Beberapa
alasan yang melatarbelakangi diperlukannnya perencanaan program tersebut,
antara lain ;
1. Memberikan
acuan dalam mempertimbangkan secara seksama tentang apa yang harus dilakukan
dan bagaimana cara melaksanakannya,
2. Tersedianya
acuan tertulis yang dapat digunakan oleh masyarakat (umum),
3. Sebagai
pedoman pengambilan keputusan terhadap adanya usul/saran penyempurnaan yang
“baru”,
4. Memantapkan
tujuan-tujuan yang inin dan harus dicapai, yang perkembangannya dapat diukur
dan dievaluasi,
5. Memberikan
peringatan yang jelas terhadap pilihan tentang :
a. Kepentigan
dari maslaah-masalah (yang dinilai menuntut perlunya revisi program)
b. Pemantapan
dari perubahan-perubahan sementara (jika memang diperlukan revisi terhadap
program)
6. Mencegah
keselaratan dari tujuan akhir, mengembangkan kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan
maupun tidak dirasakan
7. Memberikan
kelangsungan dalam diri personal selama proses perubahan berlangsung,
artinyasetiap personel yang terlibat dalam pelaksanaan dan evaluasi program
selalu merasakan perlunya kontinuitas program sampai tercapainya tujuan yang
diharapkan.
8. Membantu
mengembangkan kepemimpinan
9. Menghindarkan
pemborosan sumberdaya (tenaga, biaya, dan waktu), dan merangsang efisiensi pada
umumnya.
10. Menjamin
kelayakan kegiatan yang dilakukan didalam masyarakat dan yang dilaksanakan
sendiri oleh masyarakat setempat.
Jika dilihat
dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua
kecenderungan, antara lain : pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan
proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau
kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses
ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung
pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi; dan kedua, kecenderungan
sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi,
mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan
untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dua
kecenderungan tersebut memberikan (pada titik ekstrem) seolah berseberangan,
namun seringkali untuk mewujudkan kecenderungan primer harus melalui
kecenderungan sekunder terlebih dahulu (Sumodiningrat, Gunawan, 2002).
Pemberdayaan
masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai
sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat
“people centred, participatory,
empowering, and sustainable” (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari
hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan
mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang
pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari
alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini
berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara
lain oleh Friedman (1992) disebut sebagai alternative development, yang
menghendaki ‘inclusive democracy,
appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equaty”.(Kartasasmita,
Ginanjar 1997).
Dalam upaya
memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu
(Sumodiningrat, Gunawan, 2002) ;
1.
menciptakan suasana
atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini
titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat,
memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang
sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah. Pemberdayaan
adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk
mengembangkannya.
2. memperkuat
potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering).
Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya
menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan
menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam
berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan
bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga
pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras,
hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya
pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan
pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di
dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam
proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh
karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan,
pembudayaan, pengamalan demokrasi.
3.
memberdayakan
mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang
lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi
yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat
mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak
berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan
mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat
sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta
eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat
masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity).
Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha
sendiri (yang hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan demikian
tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun
kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara
berkesinambungan.
Pendekatan utama dalam konsep
pemberdayaan adalah bahwa masyarakat
tidak
dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari
upaya pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian, maka
pemberdayaan
masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut (Sumodiningrat, Gunawan,
2002) ; pertama, upaya itu harus terarah. Ini yang secara populer
disebut pemihakan.Upaya ini ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan
program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. Kedua,
program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh
masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu
mempunyai beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai
dengan kehendakdan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka.
Selain itu, sekaligus meningkatkan
kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola,
dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. Ketiga,
menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat
miskin sulit dapat memecahkan masalahmasalah yang dihadapinya. Juga lingkup
bantuan menjadi terlalu luas jika penanganannya dilakukan secara individu.
Pendekatan kelompok ini paling efektif dan dilihat dari penggunaan sumber daya
juga lebih efisien.
IV. Ukuran Perencanaan Program Yang Baik
Untuk
mengetahui seberapajauh perencanaan program yang dirumuskan itutelah
"baik", berikut ini disampaikan beberapa acuantentang pengukurannya,
yang mencakup:
1. Analisis
fakta dan keadaan. Perencanaan program yang baik harus mengungkapkan hasil
analisis fakta dan keadaan yang "lengkap" yang menyangkut:keadaan
sumber daya alam, sumber daya manusia, kelembagaan, tersedianya
sarana/prasarana, dan dukungan kebijaksanaan, keadaan sosial, keamanan,dan
stabilitas politik.
Untuk
keperluan tersebut, pengumpulan data dapat dilakukan dengan menghubungi beberapa
pihak (seperti: lembaga/aparat pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi profesi,
dll) dengan menggunakan berbagai teknik pengumpulan data (wawancara,
pengamatan, pencatatan data sekunder, pengalaman empirik, agar data yang
terkumpul tidak saja cukup lengkap tetapi juga dijamin kebenarannya.
2. Pemilihan
masalah berlandaskan pada kebutuhan. Hasil analisis fakta dan keadaan biasanya
menghasilkan berbagai masalah (baik masalah yang sudah dirasakan maupun belum dirasakan
masyarakat setempat). Sehubungan dengan hal ini, perumusan masalah perlu dipusatkan
pada masalah-masalah nyata (real problems) yang telah dirasakan masyarakat (felt
problems). Artinya, perumusan masalah hendaknya dipusatkan pada masalah-masalah
yang dinilai sebagai penyebab tidak terpenuhinya kebutuhannyata (real needs)
masyarakat, yang telah dapat dirasakan (felt needs) oleh mereka.
3. Jelas
dan menjamin keluwesan. Perencanaan program harus dengan jelas (dan tegas)
sehingga tidak menimbulkan keragu-ragua atau kesalah pengertian dalam pelaksanaannya.
Akan tetapi, didalam kenyataannya, seringkali selama proses pelaksanaan dijumpai
hal-hal khusus yang menuntut modifikasi perencanaan yang telah ditetapkan. Sehubungan
dengan hat ini, setiap perencanaan harus luwes (memberikan peluang untuk
dimodifikasi), sebab jika tidak, program tersebut tidak dapat dilaksanakan, dan
pada gilirannya justru tidak dapat mencapai tujuan untuk memenuhi kebutuhan
yang dirasakan masyarakatnya. Karena itu selain jelas dan tegas, harus berpandangan
jauh ke depan.
4. Merumuskan
tujuan dan pemecahan masalah yang menjanjikan kepuasan. Tujuan yang ingin
dicapai haruslah menjanjikan perbaikan kesejahteraan atau kepuasan masyarakat
sasarannya. Jika tidak, program semacam ini tidak mungkin dapat menggerakkan motivasi
masyarakat untuk berpartisipasl didalamnya. Dengan demikian, masyarakat harus
tahu betul tentang manfaat apa yang dapat mereka rasakan setelah tujuan program
tersebut tercapai. Seringkali, untuk keperluan ini, tujuan-tujuan dinyatakan
secara sederhana, tetapi didramatlsir sehingga mampu menggerakkan partisipasi masyarakat
bagi tercapainya tujuan.
5. Menjaga
keseimbangan, setiap perencanaan program harus mampu mencakup
kepentingan sebagian besar masyarakat, dan bukannya demi kepentingan sekelompok
kecil masyarakat saja. Karena itu, setiap pengambilan keputusan harus
ditekankan kepada kebutuhan yang harus dlutamakan, yang mencakup kebutuhan
orang banyak. Efisiensi, harus diarahkan demi pemerataan kegiatan dan waktu
pelaksanaan; dan harap dihindari kegiatan kegiatan yang terlalu besar menumpuk
pada penyuluh atau pada masyarakat sasarannya.
6.
Pekerjaan yang jelas, perencanaan
program harus merumuskan prosedur dan tujuan serta sasaran kegiatan yang jelas,
yang mencakup:
a.
Masyarakat sasarannya
b.
Tujuan, waktudan tempatnya
c.
Metoda yang akan digunakan
d.
Tugas dan tanggung jawab
masing-masing pihak yang terkait (termasuk tenaga sukarela)
e.
Pembagian tugas atau kegiatan yang
harus dilaksanakan oleh setiap kelompok personel (penyuluh, masyarakat, dll)
f.
Ukuran-ukuran yang digunakan untuk
evaluasi kegiatannya.
7.
Proses yang berkelanjutan Perumusan
masalah, pemecahan masalah, dan tindak lanjut (kegiatan yang harus dilakukan)
pada tahapan berikutnya harus dinyatakan dalam suatu rangkaian kegiatan yang
berkelanjutan. Termasuk di dalam hal ini adalah perubahan perubahan yang perlu
dilakukan, selaras dengan perubahan kebutuhan dan masalah yang akan dihadapi.
8.
Merupakan proses belajar dan
mengajar Semua pihak yang terlibat dalam perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi program
perlu mendapat kesempatan "belajar" dan "mengajar". Artinya
masyarakat harus diberi kesempatan untuk belajar mengumpulkan fakta dan keadaan,
serta merumuskan sendiri masalah dan cara pemecahan masalahnya. Sebaliknya,
penyuluh dan aparat pemerintah yang lain harus mampumemanfaatkan kesempatan
tersebut sebagai upaya belajar dari pengalaman masyarakat setempat.
9.
Merupakan proses koordinasi Perumusan
masalah, tujuan, dan cara mencapai tujuan, harus melibatkan dan mau
mendengarkan kepentingan semua pihak di dalam masyarakat. Oleh sebab itu
penting adanya koordinasi untuk menggerakkan semua pihak untuk berpartisipasi
di dalamnya. Di lain pihak, koordinasi juga sangat diperlukan dalam proses
pelaksanaan kegiatan. Tanpa adanya koordinasi yang baik, tujuan kegiatan tidak
akan dapat tercapai seperti yang diharapkan.
10. Memberikan
kesempatan evaluasi proses dan hasilnya Evaluasi sebenarnya merupakan proses
yang berkelanjutan dan melekat (builtin) dalam perencanaan program. Oleh sebab
itu perencanaan program itu sendiri harus memuat dan memberi kesempatan untuk
dapat dilaksanakannya evaluasi, baik evaluasi terhadap proses maupun hasilnya.
V. Filosofi Program Pemberdayaan Masyarakat
Dalam
menyusun program perlu diperhatikan filosofi program pemberdayaan masyarakat yang
oleh Dahama Bhatnagar (1980 dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bekerja berdasarkan kebutuhan yang
dirasakan (felt need), artinya program
yang akan
dirumuskan harus bertolak dari kebutuhan kebuthan
yang telah dirasakan oleh masyarakat, sehingga program itu benar-benar
dirasakan sebagai upaya pemecahan masalah atau pencapaian tujuan yang
dikehendaki oleh masyarakat sasarannya.
Dalam kaitan
itu jika terdapat
"kebutuhan nyata" (real need) yang hendak
dinyatakan
dalam program yang belum dirasakan oleh masyarakat sasaran,
terlebih
dahulu harus diupayakan menjadi kebutuhan yang dirasakan (felt need).
Sebelum
kebutuhan nyata tersebut belum merupakan kebutuhan yang dirasakan,
sebaiknya
jangan dimasukkan ke dalam rumusan program karena tindakan
seperti itu
akan mengganggu partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program
dan
pemanfaatan hasil yang dicapai dari pelaksanaan program tersebut.
Filosofi ini
mengingatkan para perancang perumus program pemberdayaan masyarakat untuk
tidak boleh
memaksakan kehendaknya sendiri, tetapi harus selalu benar-benar
mengacu
kepada kebutuhan-kebutuhan yang sudah atau sedang
dirasakan oleh
masyarakatnya.
2.
Bekerja dilandasi anggapan bahwa
masyarakat ingin dibebaskan dari penderitaan dan kemiskinan. Artinya, setiap
program yang dirancang haruslah benar-benar diupayakan untuk dapat memperbaiki
mutu kehidupan masyarakat. Program yang dirancang bukan merupakan program yang
terlalu banyak menuntut pengorbanan masyarakat
demi tercapainya tujuan-tujuan yang dikehendaki perumus program. Oleh karena
itu setiap perumusan program harus mampu merumuskan kegiatan-kegiatan yang
bertujuan untuk meperbaiki mutu kehidupan masyarakat sasaran. Tanpa adanya
pemahaman seperti ini, niscaya programtersebut tidak akan memperoleh
partisipasi masyarakat, bahkan sebaliknya akan menghadapi berbagai hambatan dan
tantangan karena program yang direncanakan itu dinilai akan lebih menyusahkan
kehidupan masyarakat yang sudah lama mengalami penderitaan. Semua pihak yang
terlibat dalam perumusan program pemberdayaan masyarakat harus membekali
dirinya dengan pemahamanbahwa di manapun masyarakat itu berada, pada dasarnya
menginginkan suatu perubahan yang menuju ke arah perbaikian mutu hidup atau
kesejahteraannya.
3.
Harus dianggap bahwa masyarakat menginginkan
"kebebasan", baik dalammenentukan garis hidupnya sendiri dan
memutuskan bentuk-bentuk ekonomi, kepercayaan, lembaga politik dan pendidikan
yang mereka inginkan demi tercapainya perbaikan mutu kehidupan mereka.
Berkaitan dengan itu, setiap perumusan program harus sejauh mungkin mengajak
mereka untuk mengemukakan kebutuhan-kebutuhannya, tujuan-tujuan yang
diharapkan, serta alternatif-alternatif pemecahan masalah atau pemilihan
kegiatan yang diinginkan masyarakat. Jika terdapat perbedaan pendapat antara
kehendak masyarakat dengan perumus program, harus diupayakan adanya dialog atau
diskusi dengan mereka untuk meyakinkan bahwa alternatif yang dikemukakan oleh
perumus program tersebut memiliki keunggulan-keunggulan yang dapat dipahami dan
diterima oleh masyarakat sasaran. Dialog atau forum diskusi seperti itu harus
selalu disediakan untuk menghindari terjadinya pertentangan, hambatan, atau
pemborosan enersi yang biasanya tersedia sangat langka.
4.
Nilai-nilai dalam masyarakat harus
dipertimbangkan selayaknya, artinya rumusan program harus sudah mencakup dan
mempertimbangkan nilai-nilai kerjasama, keputusan kelompok, tanggung jawab
sosial, kepercayaan, dan kemampuan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan.
Pertimbangan atas hal-ha seperti itu, di dalam perumusan program pemberdayaan
masyarakat seringkali memiliki arti strategis. Sebab setiap kegiatan yang
dilakukan dalam masyarakat, harus selalu dilandasi oleh nilai-nilai adat dan
kepercayaan yang mereka anut; dan di lain pihak setiap keputusan yang diambil
seringkali juga merupakan keputusan kelompok yang menuntut kerjasama dan
tanggung jawab bersama untuk dapat dilaksanakan sesuai dengan sumberdaya yang
tersedia didalam masyarakatnya sendiri. Karena itu, pengabaian terhadap hal-hal
tersebut seringkali berakibat pada tidak tercapainya tujuan seperti yang
diharapkan, atau tidak memperoleh partisipasi aktif dari masyarakatnya. Bahkan,
pengambilan keputusan seperti itu seringkali merupakan pengalaman buruk yang akan selalu mewarnai keputusan
masyarakat terhadap setiap upaya pembangunan masyarakat di masa-masa mendatang.
5.
Membantu dirinya sendiri. Artinya,
secara nyata warga masyarakat harus diarahkan (atau setidak-tidaknya
dilibatkan) untuk mau dan mampu merencanakan dan melaksanakan sendiri setiap
pekerjaan yang diupayakan untuk memecahkan masalah mereka sendiri yang akan dirumuskan dalam program.
Jika masyarakat tidak terlibat atau dilibatkan dalam proses perumusan program,
seringkali pelaksanaan programnya juga tidak memperoleh partisipasi aktif dari
mereka, sehingga seluruh rangkaian kegiatan sejak perencanaan sampai
pelaksanaannya dilakukan oleh "orang luar". Dalam keadaan seperti
ini, masyarakat sasaran tidak dapat dikaitkan dalam proses membangun.
Akibatnya, lambat laun mereka akan kehilangan kepekaan terhadap masalahnya
sendiri, tidak memiliki inisiatif dan kreafivitas unfuk memecahkan masalahnya
sendiri, dan akan kehilangan kemandiriannya. Sehingga proses pembangunan yang direncanakan
justru menumbuhkan kondisi ketergantungan.
6.
Masyarakat adalah sumberdaya yang
terbesar.
Artinya dalam perumusan program pemberdayaan masyarakat, harus sebesar-besarnya
memanfaakan potensi sumberdaya yang tersedia di dalam masyarakat sasaransendiri,
baik modal, sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, dan kelembagaan yang sudah ada. Dalam hubungan ini, harus selalu
diingat bahwa pembangunan yangdilaksanakan adalah pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat.
Sehingga setiap upaya pembangunan harus menggali, mengembangkan, dan
memanfaatkan potensi sumberdaya yang
tersedia di masyarakat. Melalui cara seperti ini, proses pembangunan akan
memberikan dampak ganda bagi tumbuhnya upaya-upaya pembangunan lanjutan di masa-masa
mendatang. Sebab dengan tergarapnya sumberdaya alam, manusia, dan kelembagaan
yang ada, akan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan masyarakat
untuk berswakarsa dan berswadaya melaksanakan pembangunan dimasa mendatang pada
cakupan bidang garapan yang semakin luas pula. Sebaliknya, jika potensi
sumberdaya lokal tidak tergarap dan menggantungkan dari luar, pada suatu saat
pasti akan kehabisan kemampuan untuk mendatangkan sumberdaya tersebut, dan karena
sumberdaya lokal (terutama sumberdaya manusia dan kelembagaan) tidak pernah tergarap, tidak akan
tumbuh inisiatif dan kemampuan baru untuk melaksanakan pembangunan lanjutan,
sehingga berhentilah pembangunan di wilayah tersebut.
7.
Program mencakup perubahan sikap,
kebiasaan, dan pola pikir, yang artinya perumusan program harus mencakup banyak
dimensi perilaku manusia. Sehubungan ini harus selalu diingat bahwa setiap
pembangunan pada dasarnya harus mampu membangun perilaku manusianya. Pembangunan
fisik yang tanpa membangun perilaku manusia, seringkali mengakibatkan tidak termanfaatkannya
hasil-hasil pembangunan secara maksimal. Sebaliknya, melalui pembangunan yang
berakibat pada perubahan perilaku manusianya, akan menghasilkan manusia-manusia
yang berjiwa selalu ingin membangun, serta memiliki kemampuan pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pembangunan yang diinginkan. Metodologi
Pemberdayaan Masyarakat Pengembangan Masyarakat memiliki sejarah panjang dalam
praktek pekerjaan sosial (Payne, 1995; Suharto, 1997). Sebagai sebuah metode
pekerjaan sosial, Pengembangan masyarakat memungkinkan pemberi dan penerima pelayanan
terlibat dalam proses perencanaan, pengawasan dan evaluasi. Pengembangan
masyarakat meliputi berbagai pelayanan sosial yang berbasis masyarakat mulai
dari pelayanan preventif untuk anak-anak sampai pelayanan kuratif dan
pengembangan untuk keluarga yang berpendapatan rendah. Meskipun Pengembangan
masyarakat memiliki peran penting dalam pekerjaan sosial, Pengembangan
masyarakat belum sepenuhnya menjadi ciri khas praktek pekerjaan sosial.
Pengembangan masyarakat masih menjadi bagian dari kegiatan profesi lain,
seperti perencana kota dan pengembang perumahan. Pengembangan masyarakat juga
masih sering dilakukan oleh para voluntir dan aktivis pembangunan yang tidak
dibayar. Telah terjadi perdebatan panjang mengenai apakah Pengembangan
masyarakat dapat dan harus didefinisikan sebagai kegiatan profesional. Yang
jelas, Pengembangan masyarakat memiliki tempat khusus dalam khazanah pendekatan
pekerjaan sosial, meskipun belum dapat dikategorikan secara tegas sebagai satu-satunya
metode milik pekerjaan sosial (Mayo, 1998).
Konsep dan
Cakupan Pemberdayaan Masyarakat Pengembangan
masyarakat memiliki fokus terhadap upaya menolong anggota masyarakat yang
memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi kebutuhan bersama
dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pengembangan masyarakat seringkali diimplementasikan dalam bentuk proyek-proyek
pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam
memenuhi kebutuhannya atau melalui kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan
kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang
bertanggungjawab (Payne, 1995:165).
Pengembangan
masyarakat (community development) terdiri dari dua konsep, yaitu
“pengembangan” dan “masyarakat”. Secara singkat, pengembangan atau pembangunan
merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan
manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi,
pendidikan, kesehatan dan sosial budaya. Masyarakat dapat diartikan dalam dua
konsep, yaitu (Mayo, 1998:162): Masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama”,
yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga,
perumahan di daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan.
Masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan
berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama pada
masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi
kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus para orang tua yang memiliki anak
dengan kebutuhan khusus (anak cacat phisik) atau bekas para pengguna pelayanan
kesehatan mental. Istilah masyarakat dalam Pengembangan masyarakat biasanya
diterapkan terhadap pelayanan pelayanan sosial kemasyarakatan yang membedakannya
dengan pelayanan pelayanan sosial kelembagaan. Pelayanan perawatan manula yang diberikan
di rumah mereka dan/atau dipusat-pusat pelayanan yang terletak di suatu
masyarakat merupakan contoh pelayanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan
perawatan manula disebuah rumahsakit khusus manula adalah contoh pelayanan
sosial kelembagaan. Istilah masyarakat juga sering dikontraskan dengan
“negara”. Misalnya, “sektor masyarakat” sering diasosiasikan dengan bentuk-bentuk
pemberian pelayanan sosial yang kecil, informal dan bersifat bottom-up. Sedangkan
lawannya, yakni “sektor publik”, kerap diartikan sebagai bentuk-bentuk
pelayanan sosial yang relatif lebih besar dan lebih birokratis. Pengembangan
masyarakat yang berbasis masyarakat seringkali diartikan dengan pelayanan
sosial gratis dan swadaya yang biasanya muncul sebagai respon terhadap melebarnya
kesenjangan antara menurunnya jumlah pemberi pelayanan dengan meningkatnya
jumlah orang yang membutuhkan pelayanan. Pengembangan masyarakat juga umumnya
diartikan sebagai pelayanan yang menggunakan pendekatan- pendekatan yang lebih
bernuansa pemberdayaan (empowerment) yang memperhatikan keragaman pengguna dan
pemberi pelayanan. Dengan demikian, Pengembangan masyarakat dapat didefinisikan
sebagai metoda yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya
serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi
kehidupannya (AMA, 1993).
Menurut
Twelvetrees (1991:1) Pengembangan masyarakat adalah “the process of assisting
ordinary people to improve their own communities by undertaking collective
actions.” Secara khusus Pengembangan masyarakat berkenaan dengan upaya
pemenuhan kebutuhan Orang-orang yang tidak beruntung atau tertindas, baik yang
disebabkan oleh kemiskinan maupun oleh diskriminasi berdasarkan kelas sosial,
suku, jender, jenis kelamin, usia, dan kecacatan. Model-model Pengembangan
masyarakat Secara teoretis, Pemberdayaan masyarakat dapat dikatakan sebagai sebuah
pendekatan pekerjaan sosial yang dikembangkan dari dua perspektif yang
berlawanan, yakni aliran kiri (sosialis-Marxis) dan kanan (kapitalis demokratis)
dalam spektrum politik. Dewasa ini, terutama dalam konteks menguatnya sistem
ekonomi pasar bebas dan “swastanisasi” kesejahteraan sosial, Pemberdayaan
masyarakat semakin menekankan pentingnya swadaya dan keterlibatan informal
dalam mendukung strategi penanganan kemiskinan dan penindasan, maupun dalam
memfasilitasi partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Secara garis besar,
Twelvetrees (1991) membagi perspektif Pemberdayaan masyarakat kedalam dua
bingkai, yakni pendekatan “profesional” dan pendekatan “radikal”. Pendekatan
profesional menunjuk pada upaya untuk meningkatkan kemandirian dan memperbaiki
sistem pemberian pelayanan dalam kerangka relasi-relasi sosial. Sementara itu,
berpijak pada teori struktural neo-Marxis, feminisme dan analisis antirasis,
pendekatan radikal lebih terfokus pada upaya mengubah ketidakseimbangan relasi-relasi
sosial yang ada melalui pemberdayaan kelompok-kelompok lemah, mencari sebab-sebab
kelemahan mereka, serta menganalisis sumber-sumber ketertindasannya. Sebagaimana
diungkapkan oleh Payne (1995:166), “This
is the type of approach which supports minority ethnic communities, for example, in drawing attention to inequalities
in service provision and in power which lie behind severe deprivation.”
Seperti digambarkan oleh Tabel 1, dua pendekatan tersebut dapat dipecah lagi
kedalam beberapa perspektif sesuai dengan beragam jenis dan tingkat praktek
Pemberdayaan masyarakat. Sebagai contoh, pendekatan profesional dapat diberi
label sebagai perspektif (yang) tradisional, netral dan teknikal. Sedangkan
pendekatan radikal dapat diberi label sebagai perspektif transformasional
(Dominelli, 1990; Mayo, 1998).
Berdasarkan perspektif
di atas, Pemberdayaan masyarakat dapat diklasifikasikan kedalam enam model
sesuai dengan gugus profesional dan radikal (Dominelli, 1990: Mayo, 1998).
Keenam model tersebut meliputi: Perawatan Masyarakat, Pengorganisasian
Masyarakat dan Pembangunan Masyarakat pada gugus profesional; dan Aksi
Masyarakat Berdasarkan Kelas Sosial, Aksi Masyarakat Berdasarkan Jender dan
Aksi Masyarakat Berdasarkan Ras (Warna Kulit) pada gugus radikal (Tabel 2)
1.
Perawatan Masyarakat merupakan
kegiatan volunter yang biasanya dilakukan oleh warga kelas menengah yang tidak
dibayar. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi kesenjangan legalitas
pemberian pelayanan.
2.
Pengorganisasian Masyarakat memiliki
fokus pada perbaikan koordinasi antara berbagai lembaga kesejahteraan sosial.
3.
Pembangunan Masyarakat memiliki
perhatian pada peningkatan keterampilan dan kemandirian masyarakat dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
4.
Aksi Masyarakat Berdasarkan Kelas
bertujuan untuk membangkitkan kelompok-kelompok lemah untuk secara Bersama-sama
meningkatkan kemampuan melalui strategi konflik, tindakan langsungdan
konfrontasi.
5.
Aksi Masyarakat Berdasarkan Jender
bertujuan untuk mengubah relasi-relasi sosial kapitalis patriakal antara laki-laki
dan perempuan, perempuan dan negara, serta orang dewasa dan anak-anak.
6.
Aksi Masyarakat Berdasarkan Ras (Warna
Kulit) merupakan usaha untuk memperjuangkan kesamaan kesempatan dan
menghilangkan diskriminasi rasial. Model-model Pemberdayaan masyarakat perlu
dibangun berdasarkan perspektif alternatif (baik profesional maupun radikal)
yang secara kritis mampu memberikan landasan teoritis dan pragmatis bagi
praktek pekerjaan sosial. Apapun perspektif dan model yang digunakan, pekerja
sosial perlu meningkatkan perangkat pengetahuan, teknik dan keterampilan
profesionalnya yang saling melengkapi. Secara umum, beberapa bidang yang harus
dikuasai adalah:
a.
Engagement (dengan beragam individu,
kelompok, dan organisasi).
b.
Assessment (termasuk assessment kebutuhan
dan profile wilayah).
c.
Penelitian (termasuk penelitian aksi
partisipatif dengan masyarakat).
d.
Groupwork (termasuk bekerja dengan
kelompok pemecah masalah maupun kelompok-kelompok kepentingan).
e.
Negosiasi (termasuk bernegosiasi
secara konstruktif dalam situasi-situasi konflik).
f.
Komunikasi (dengan berbagai pihak
dan lembaga).
g.
Konseling (termasuk bimbingan dan
pemberdayaan masyarakat terhadap masyarakat dengan beragam latar kebudayaan)
h.
Manajemen sumber (termasuk manajemen
waktu dan aplikasi-aplikasi untuk memperoleh bantuan).
i.
Pencatatan dan pelaporan.
j.
Monitoring dan evaluasi. Pekerja
sosial juga memerlukan pengetahuan mengenai kebijakan sosial, sistem negara
kesejahteraan (welfare state), dan hak-hak sosial masyarakat, termasuk
pengetahuan-pengetahuan khusus dalam bidang-bidang dimana praktek pekerjaan
sosial beroperasi, seperti: kebijakan kesejahteraan sosial dan kesehatan,
praktek perawatan masyarakat, peraturan dan perundang-undangan perlindungan
anak, serta perencanaan sosial termasuk perencanaan wilayah(perkotaan dan
pedesaan) dan perumahan. Sebagai tambahan, seperti diungkapkan oleh Mayo
(1994:74).
Perencanaan
Pemberdayaan Masyarakat Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat dapat dilakukan
melalui penetapan sebuah program atau proyek pembangunan. Secara garis besar,
perencanannya dapat dilakukan dengan mengikuti 6 langkah perencanaan.
1.
Perumusan masalah. Pemberdayaan
masyarakat dilaksanakan berdasarkan masalah atau kebutuhan-masyarakat setempat.
Beberapa masalah yang biasanya ditangani oleh Pemberdayaan Masyarakatberkaitan
dengan kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, pemberantasan buta hurup,
dll. Perumusan masalah dilakukan dengan menggunakan penelitian (survey,
wawancara, observasi), diskusi kelompok, rapat desa, dst.
2.
Penetapan program. Setelah masalah
dapat diidentifikasi dan disepakati sebagai prioritas yang perlu segera
ditangani, maka dirumuskanlah program penanganan masalah tersebut.
3.
Perumusan tujuan. Agar program dapat
dilaksanakan dengan baik dan keberhasilannya dapat diukur perlu dirumuskan apa
tujuan dari program yang telah ditetapkan. Tujuan yang baik
memilikikarakteristik jelas dan spesifik sehingga tercermin bagaimana cara
mencapai tujuan tersebut sesuai dengan dana, waktu dan tenaga yang tersedia.
4.
Penentuan kelompok sasaran. Kelompok
sasaran adalah sejumlah orang yang akan ditingkatkan kualitas hidupnya melalui
program yang telah ditetapkan.
5.
Identifikasi sumber dan tenaga
pelaksana. Sumber adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menunjang
program kegiatan, termasuk didalamnya adalah sarana, sumber dana, dan sumber
daya manusia.
6.
Penentuan strategi dan jadwal
kegiatan. Strategi adalah cara atau metoda yang dapat digunakan dalam
melaksanakan program kegiatan.
7.
Monitoring dan evaluasi. Monitoring
dan evaluasi dilakukan untuk memantau proses dan hasil pelaksanaan program.
Apakah program dapat dilaksanakan sesuai dengan strategi dan jadwal kegiatan?
Apakah program sudah mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan?
suatu kegiatanindikator keberhasilan.
VI. Lingkup Materi Perencanaan Program
Pemberdyaan Masyarakat
Lingkup
materi pemberdayaan masyarakat harus mencakup aspek kegiatan yang berkaitan
dengan upaya-upaya peningkatan produksi, peningkatan pendapatan, serta
kesejahteraan masyarakat penerima manfaatnya.
6.1
Peningkatan
Produksi
Terbatasnya kemampuan sumber daya
dalam memuaskan kebutuhan manusia yang tidak terbatas, mendorong setiap orang
yang bergerak dalam bidang produksi untuk berpikir dalam memecahkan persoalan
tersebut. Di sampain kuantitas atau jumlah hasil produksi yang ditingkatkan,
juga yang harus dipikirkan dan lakukan adalah memperbaiki dan meningkatkan mutu
atau kualitas hasil prduksi.
Kedua hal ini (kuantitas dan
kualitas) sangat penting harus terus dilakukan terutama dalam upaya untuk
menghindari kelangkaan hasil produksi. Apalagi pertambahan jumlah manusia terus
meningkat yang menyebabkan bertambahnya pula kebutuhan akan barang.
Upaya-upaya apa yang mesti dilakukan
untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil produksi ini? Peningkatan
kuantitas dan kualitas hasil produksi dapat dilakukan dengan upaya-upaya
berikut ini :
1.
Intensifikasi
Intensifikasi adalah usaha
meningkatkan hasil produksi dengan cara menambah dan/atau memperluas
faktor-faktor produksi (sumber daya ekonomi) yang digunakan. Contohnya:
a. Meningkatkan
kualitas tenaga kerja
b.
Memperbaiki cara berproduksi
c.
Peninngkatan jam operasi mesin
d. Menerapkan
panca atau sapta usaha tani dalam bidang pertanian
Panca (lima) usaha tani meliputi :
a. Penggunaan
bibit unggul
b.
Pengolahan tanah yang baik
c.
Penggunaan pupuk yang tepat
d.
Pengendalian dan pemberantasan hama
atau penyakit tanaman
e. Pengairan
atau irigasi
Sedangkan Sapta (tujuh) Usaha tani
meiliputi : Panca Usaha Tani ditambah dengan pasca panen dan pemasaran hasil
pertanian.
2.
Ekstensifikasi
Ekstensifikasi adalah usaha
meningkatkan hasil produksi dengan memperluas atau menambah faktor-faktor
produksi. Contoh upaya yang dapat dilakukan pada ekstensifikasi produksi ini,
sebagai berikut :
a. Membuka
lahan pertanian
b.
Mendirikan pabrik baru atau cabang-cabang
pabrik/perusahaan
c.
Penambahan jumlah armada angkutan
3.
Diversifikasi
Diversifikasi adalah usaha untuk
meningkatkan produksi dengan cara menambah jenis/keanekaragaman hasil produksi.
Diversifikasi dilakukan perusahaan bertujuan selain untuk menambah jumlah hasil
produksi, juga dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan dan menutup kerugian
yang mungkin terjadi apabila salah satu/sebagian hasil produksi ternyata tidak
laku di pasar. Contohnya : Selain
menanam padi, pada lahan yang masih kosong ditanami juga palawija, Selain
menghasilkan kain juga memproduksi pakaian jadi, Selain memproduksi televisi
dibuat pula antena televisi, radio, dan amplifier
4.
Rasionalisasi
Rasionalisasi adalah usaha
meningkatkan mutu dan hasil produksi dengan cara meningkatkan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Contoh yang dapat dilakukan antara lain sebagai
berikut :
Untuk menghemat tenaga kerja dan efektivitas
produksi, maka digunakan tenaga kerja mesin. Melaksanakan kegiatan produksi
dengan menerapkan menejemen yang baik.
6.2
Upaya
Peningkatan Pendapatan
Pendapatan masyarakat sebagaimana pemikiran Rosyidi (2006 : 100-101)
adalah arus uang yang mengalir dari pihak dunia usaha kepada masyarakat dalam
bentuk upah dan gaji, bunga, sewa dan laba. Dan bahwa pendapatan perseorangan (personal
income) terdiri atas sewa upah dan gaji, bunga, laba perusahaan bukan
perseroan, dividen dan pembayaran transfer.
Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan ekonomi
sesuai dengan pendapat para ahli dari aliran teori strukturalis. Hadi Prayitno
dan Budi Santoso (1998:50) mengemukakan bahwa strategi pembangunan di negara
berkembang akan lebih baik jika menggunakan strategi pembangunan berupa
penciptaan lapangan kerja, reinvestasi, pemenuhan kebutuhan hidup pokok, pengembangan
sumberdaya manusia, mengutamakan sektor petanian, mengembangkan sektor pedesaan
terpadu dan penataan ekonomi nasional, sedangkan strategi pembangunan dalam era
otonomi harus mengacu kepada berkembangnya otonomi daerah dan semakin
meningkatnya kemandirian dan kemampuan daerah dalam penyelenggaraan
pembangunan, yang bermuara kepada tercapainya sasaran pertumbuhan ekonomi
nasional dan daerah, meningkatnya tarap hidup dan kesejahteraan masyarakat,
berkuranggnya penduduk miskin dan desa tertinggal serta meningkatnya
partisipasi aktif dari masyarakat.
Sejalan dengan pendapat diatas menurut Sumondiningrat (1999: 58) dalam
rangka mencapai masyarakat yang sejahtera dibutuhkan strategi pembangunan yang
berkelanjutan yang pada hakekatnya berorientasi kepada peningkatan kemakmuran
dan kesejahteraan manusia dengan mengikutsertakan segala lapisan masyarakat
dalam proses pembangunan, disampingi itu pembangunan yang bertujuan untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat merupakan suatu proses yang muncul dari
masyarakat, oleh masyarakat dan untuk dinikmati oleh masyarakat secara
berkesinambungan.
Pemberdayaan adalah bagian dari paradigma pembangunan yang memfokuskan
perhatiannya pada semua aspek yang prinsipil dari manusia di lingkungannya,
yakni mulai dari aspek intelektual (sumber daya manusia), aspek material dan
fisik, sampai kepada aspek manajerial. Aspek-aspek tersebut bisa jadi
dikembangkan menjadi aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, keamanan, dan
lingkungan. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi
yang merangkum nilai-nilai sosial, konsep ini mencerminkan paradigma baru
pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory,
empowering, and sustainable" (Chambers dalam Kartasamita, 1997: 6). Upaya
memberdayakan masyarakat, Kartasamita (1997: 13) mengemukakan pemikirannya
bahwa dalam kerangka memberdayakan masyarakat, dapat dilihat dari tiga sisi,
yakni: 1) Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang
(enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia,
setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada
masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan punah.
Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong,
memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta
berupaya untuk mengembangkannya. 2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki
oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih
positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini
meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan
(input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang
akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. 3) Dalam rangka pemberdayaan
ini, upaya yang sangat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan dan derajat
kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi, seperti; modal,
teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan
ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar, baik fisik seperti;
irigasi, jalan, dan listrik, ataupun sosial seperti; sekolah dan fasilitas
pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling
bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran
di perdesaan, di mana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya cukup
minim.Untuk itu perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya,
karena program-program umum yang berlaku untuk semua, tidak selalu dapat
menyentuh lapisan masyarakat ini. Pemberdayaan masyarakat bukan untuk membuat
masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity),
karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha
sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan demikian
maka tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun
kekuatan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara
berkesinambungan.
6.3
Kesejahteraa Masyarakat
Istilah
kesejahteraan bukanlah hal yang baru, baik dalam wacana global maupun nasional.
Dalam membahas analisis tingkat kesejahteraan, tentu kita harus mengetahui
pengertian sejahtera terlebih dahulu. Kesejahteraan itu meliputi keamanan,
keselamatan, dan kemakmuran. Pengertian sejahtera menurut W.J.S Poerwadarminta
adalah suatu keadaan yang aman, sentosa, dan makmur. Dalam arti lain jika
kebutuhan akan keamanan, keselamatan dan kemakmuran ini dapat terpenuhi, maka akan
terciptalah kesejahteraan.
Menurut
Undang-undang No 11 Tahun 2009, tentang Kesejahteraan Masyarakat, kesejahteraan
masyarakat adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan
sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri,
sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Dari Undang–Undang di atas dapat
kita cermati bahwa ukuran tingkat kesejahteraan dapat dinilai dari kemampuan
seorang individu atau kelompok dalam usaha nya memenuhi kebutuhan material dan
spiritual nya. Kebutuhan material dapat kita hubungkan dengan pendapatan yang
nanti akan mewujudkan kebutuhan akan pangan, sandang, papan dan kesehatan.
Kemudian kebutuhan spiritual kita hubungkan dengan pendidikan, kemudian
keamanan dan ketentaraman hidup.
Menurut Mosher
(1987), hal yang paling penting dari kesejahteraaan adalah pendapatan, sebab
beberapa aspek dari kesejahteraan rumah tangga tergantung pada tingkat
pendapatan. Pemenuhan kebutuhan dibatasi oleh pendapatan rumah tangga yang
dimiliki, terutama bagi yang berpendapatan rendah. Semakin tinggi pendapatan
rumah tangga maka persentase pendapatan untuk pangan akan semakin berkurang.
Dengan kata lain, apabila terjadi peningkatan tersebut tidak merubah pola
konsumsi maka rumah tangga tersebut sejahtera. Sebaliknya, apabila peningkatan
pendapatan rumah tangga dapat merubah pola konsumsi maka rumah tangga tersebut
tidak sejahtera.
Menurut konsep lain,
kesejahteraan bisa di ukur melalui dimensi moneter maupun non moneter, misalnya
ketimpangan distribusi pendapatan, yang didasarkan pada perbedaan tingkat
pendapatan penduduk di suatu daerah. Kemudian masalah kerentanan
(vulnerability), yang merupakan suatu kondisi dimana peluang atau kondisi fisik
suatu daerah yang membuat seseorang menjadi miskin atau menjadi lebih miskin
pada masa yang akan datang. Hal ini merupakan masalah yang cukup serius karena
bersifat struktural dan mendasar yang mengakibatkan risiko-risiko sosial
ekonomi dan akan sangat sulit untuk memulihkan diri (recover). Kerentanan
merupakan suatu dimensi kunci dimana perilaku individu dalam melakukan
investasi, pola produksi, strategi penanggulangan dan persepsi mereka akan berubah
dalam mencapai kesejahteraan.
Kesejahteraan pada
intinya mencakup tiga konsepsi, yaitu:
1.
Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya
kebutuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial.
2.
Institusi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga
kesejahteraan sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan
usaha kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial.
3.
Aktivitas, yakni suatu kegiatan-kegiatan atau usaha yang
terorganisir untuk mencapai sejahtera.
Biro Pusat Statistik
Indonesia (2000) menerangkan bahwa guna melihat tingkat kesejahteraan rumah
tangga suatu wilayah ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuruan,
antara lain adalah:
a)
Tingkat pendapatan keluarga
b)
Komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan pengeluaran
untuk pangan dengan non-pangan
c)
Tingkat pendidikan keluarga
d)
Tingkat kesehatan keluarga
e)
Kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah
tangga.
Comments
Post a Comment