Skip to main content

PERENCANAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ( BAB 1-6)



PERENCANAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

 TUGAS RESUME
MATA KULIAH PEMBERDAYAAN MASYARAKAT



DOSEN PENGAMPU
Dr. ACHMAD FAQIH., Ir., MM



Oleh :

Maslikha
112120041





PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2016

 




KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah Swt, yang telah melimpahkan rahmat dan hidyah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas resume ini.
Tujuan penyusunan tugas resume ini adalah untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pemberdayaan Masyarakat di Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon.
Ucapan terima kasih penyusun ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu penyusun dalam menyelesaikan tugas praktikum ini,
Penyusun menyadari bahwa penyusunan tugas resume ini jauh dari kata sempurna baik dari segi isi maupun sistematika penyusunannya. Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penyusun harapkan untuk perbaikan penyusunan tugas resume yang akan datang.
Akhir kata penyusun berharap semoga penyusunan tugas praktikum ini bisa berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.



  Cirebon, 17 Oktober 2016


Penyusun

I.                   Pendahuluan

1.1              Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, hal tersebut dikarenakan belum ada definisi yang tegas mengenai konsep pemberdayaan. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. 
Pertama akan kita pahami pengertian tentang pemberdayaan. Menurut Sulistiyani (2004 : 77) secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses pemberian daya (kekuatan/kemampuan) kepada pihak yang belum berdaya. Kedua pengertian tentang masyarakat, menurut Soetomo (2011 : 25) masyarakat adalah sekumpulan orang yang saling berinteraksi secara kontinyu, sehingga terdapat relasi sosial yang terpola, terorganisasi.
Dari kedua definisi tersebut bila digabungkan dapat dipahami makna pemberdayaan masyarakat. Namun sebelum kita tarik kesimpulan, terlebih dahulu kita pahami makna pemberdayaan masyarakat menurut para ahli. Menurut Moh. Ali Aziz, dkk (2005 : 136) :
“Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses di mana masyarakat, khususnya mereka yang kurang memiliki akses ke sumber daya pembangunan, didorong untuk meningkatkan kemandiriannya di dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Pemberdayaan masyarakat juga merupakan proses siklus terus-menerus, proses partisipatif di mana anggota masyarakat bekerja sama dalam kelompok  formal maupun informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama. Jadi, pemberdayaan masyarakat lebih merupakan suatu proses”.
Selanjutnya pemaknaan pemberdayaan masyarakat menurut Madekhan Ali (2007 : 86) yang mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai berikut ini :
“Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah bentuk partisipasi untuk membebaskan diri mereka sendiri dari ketergantungan mental maupun fisik. Partisipasi masyarakat menjadi satu elemen pokok dalam strategi pemberdayaan dan pembangunan masyarakat, dengan alasan; pertama, partisipasi masyarakat merupakan satu perangkat ampuh untuk memobilisasi sumber daya lokal, mengorganisir serta membuka tenaga, kearifan, dan kreativitas masyarakat.Kedua, partisipasi masyarakat juga membantu upaya identifikasi dini terhadap kebutuhan masyarakat”.
Mengacu pada pengertian dan teori para ahli di atas, dalam penelitian ini pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya sehingga masyarakat dapat mencapai kemandirian. Kemudian dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan daya atau kekuatan pada masyarakat dengan cara memberi dorongan, peluang, kesempatan, dan perlindungan dengan tidak mengatur dan mengendalikan kegiatan masyarakat yang diberdayakan untuk mengembangkan potensinya sehingga masyarakat tersebut dapat meningkatkan kemampuan dan mengaktualisasikan diri atau berpartisipasi melalui berbagai aktivitas.

1.2              Tujuan  Pemberdayaan Masyarakat

Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat menurut Sulistiyani (2004 : 80) adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak, dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Untuk mencapai kemandirian masyarakat diperlukan sebuah proses. Melalui proses belajar maka secara bertahap masyarakat akan memperoleh kemampuan atau daya dari waktu ke waktu.
Berikut tujuan pemberdayaan menurut Tjokowinoto dalam Christie S (2005: 16) yang dirumuskan dalam 3 (tiga) bidang yaitu ekonomi, politik, dan sosial budaya “Kegiatan pemberdayaan harus dilaksanakan secara menyeluruh mencakup segala aspek kehidupan masyarakat untuk membebaskan kelompok masyarakat dari dominasi kekuasan yang meliputi bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Konsep pemberdayaan dibidang ekonomi adalah usaha menjadikan ekonomi yang kuat, besar, mandiri, dan berdaya saing tinggi dalam mekanisme pasar yang besar dimana terdapat proses penguatan golongan ekonomi lemah. Sedang pemberdayaan dibidang politik merupakan upaya penguatan rakyat kecil dalam proses pengambilan  keputuan yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya atau kehidupan mereka sendiri. Konsep pemberdayaan masyarakat di bidang sosial budaya merupakan upaya penguatan rakyat kecil melalui peningkatan, penguatan, dan penegakan nilai-nilai, gagasan, dan  norma-norma, serta mendorong terwujudnya organisasi sosial yang mampu memberi kontrol terhadap perlakuan-perlakuan politik dan ekonomi yang jauh dari moralitas”.
Dari paparan tersebut dapat kita simpulkan bahwa tujuan pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat terutama dari kemiskinan, keterbelakangan, kesenjangan, dan ketidakberdayaan. Kemiskinan dapat dilihat dari indikator pemenuhan kebutuhan dasar yang belum mencukupi/layak. Kebutuhan dasar itu, mencakup pangan, pakaian, papan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Sedangkan keterbelakangan, misalnya produktivitas yang rendah, sumberdaya manusia yang lemah, kesempatan pengambilan keputusan yang terbatas.
Kemudian ketidakberdayaan adalah melemahnya kapital sosial yang ada di masyarakat (gotong royong, kepedulian, musyawarah, dan kswadayaan) yang pada gilirannya dapat mendorong pergeseran perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan, dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara bersama.


1.3          Strategi dan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat
Berdasar pendapat Sunyoto Usman (2003 : 40-47 ) ada beberapa strategi yangdapat menjadi pertimbangan untuk dipilih dan kemudian diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu menciptakan iklim, memperkuat daya, dan melindungi.
Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat  dari tiga sisi, yaitu ; pertama,  menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan  potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia memiliki potensi atau daya yang dapat dikembangkan.Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering), upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, lapangan kerja, dan pasar. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah.
Berbicara tentang pendekatan, bila dilihat dari proses dan mekanisme perumusan program pembangunan masyarakat, pendekatan pemberdayaan cenderung mengutamakan alur dari bawah ke atas atau lebih dikenal pendekatanbottom-up. Pendekatan ini merupakan upaya melibatkan semua pihak sejak awal, sehingga setiap keputusan yang diambil dalam perencanaan adalah keputusan mereka bersama, dan mendorong keterlibatan dan komitmen sepenuhnya untuk melaksanakannya.
Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam rangka perencanaan dan penentuan kebijakan, atau dalam pengambilan keputusan. Model pendekatan dari bawah mencoba melibatkan masyarakat dalam setiap tahap pembangunan. Pendekatan yang dilakukan tidak berangkat dari luar melainkan dari dalam. Seperangkat masalah dan kebutuhan dirumuskan bersama, sejumlah nilai dan sistem dipahami bersama. Model bottom memulai dengan situasi dan kondisi serta potensi lokal. Dengan kata lain model kedua ini menampatkan manusia sebagai subyek. Pendekatan “bottom up” lebih memungkinkan penggalian dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan. Hal ini disebabkan karena masyarakat lebih merasa “memiliki”, dan merasa turut bertanggung jawab terhadap keberhasilan pembangunan, yang nota bene memang untuk kepentingan mereka sendiri. Betapa pun pendekatan bottom-up memberikan kesan lebih manusiawi dan memberikan harapan yang lebih baik, namun tidak lepas dari kekurangannya, model ini membutuhkan waktu yang lama dan belum menemukan bentuknya yang mapan.

1.4               Prinsip-prinsip Pemberdayaan Masyarakat
Untuk melakukan pemberdayaan masyarakat secara umum dapat diwujudkan dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan masyarakat, sebagai berikut :
a.       Belajar Dari Masyarakat Prinsip yang paling mendasar adalah prinsip bahwa untuk melakukan pemberdayaan masyarakat adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat. Ini berarti, dibangun pada pengakuan serta kepercayaan akan nilai dan relevansi pengetahuan tradisional masyarakat serta kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri.
b.       Pendamping sebagai FasilitatorMasyarakat sebagai Pelaku Konsekuensi dari prinsip pertama adalah perlunya pendamping menyadari perannya sebagai fasilitator dan bukannya sebagai pelaku atau guru. Untuk itu perlu sikap rendah hati serta ketersediaan untuk belajar dari masyarakat dan menempatkan warga masyarakat sebagai narasumber utama dalam memahami keadaan masyarakat itu. Bahkan dalam penerapannya masyarakat dibiarkan mendominasi kegiatan. Kalaupun pada awalnya peran pendamping lebih besar, harus diusahakan agar secara bertahap peran itu bisa berkurang dengan mengalihkan prakarsa kegiatan-kegiatan pada warga masyarakat itu sendiri. 
c.       Saling Belajar Saling Berbagi Pengalaman Salah satu prinsip dasar pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat adalah pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat. Hal ini bukanlah berarti bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah. Kenyataan objektif telah membuktikan bahwa dalam banyak hal perkembangan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat tidak sempat mengejar perubahan-perubahan yang terjadi dan tidak lagi dapat memecahkan masalah-masalah yang berkembang. Namun sebaliknya, telah terbukti pula bahwa pengetahuan modern dan inovasi dari luar yang diperkenalkan oleh orang luar tidak juga memecahkan masalah mereka.
  







II.      Pengertian Perencanaan Program Perencanaan Masyarakat
2.1         Pengertian Perencaan
Perencanaan menurut Abe (2001) dalam Ovalhanif (2009) adalah susunan (rumusan) sistematik mengenai langkah-langkah mengenai langkah (tindakan-tindakan) yang akan dilakukan di masa depan, dengan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang seksama atas potensi, faktor-faktor eksternal dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut Tjokroamidjojo (1995) dalam Ovalhanif (2009) mendefinisikan perencanaan sebagai suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya (maksimum output) dengan sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien dan efektif. Selanjutnya dikatakan bahwa, perencanaan merupakan penentuan tujuan yang akan dicapai atau yang akan dilakukan, bagaimana, bilamana dan oleh siapa.
Menurut Terry (1960) dalam Mardikanto (2010), perencanaan diartikan sebagai suatu proses pemilihan dan menghubung-hubungkan fakta, serta menggunakannya untuk menyusun asumsi-asumsi yang diduga bakal terjadi di masa datang, untuk kemudian merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan demi tercapainya tujuan-tujuan yang diharapkan.
Perencanaan juga diartikan sebagai suatu proses pengambilan keputusan yang berdasarkan fakta, mengenai kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya tujuan yang diharapkan atau yang dikehendaki.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup lima pendekatan yaitu: (1) politik, (2) teknokratik, (3) partisipatif, (4) atas-bawah (top-down), (5) bawah-atas (bottom-up). Ahli-ahli teori perencanaan publik mengemukakan beberapa proses perencanaan (1) perencanaan teknokrat; (2) perencanaan partisipatif; (3) perencanaan top-down; (4) perencanaan bottom up (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 1996).


1.              Perencanaan teknokrat
Menurut Suzetta (2007) adalah proses perencanaan yang dirancang berdasarkan data dan hasil pengamatan kebutuhan masyarakat dari pengamat professional, baik kelompok masyarakat yang terdidik yang walau tidak mengalami sendiri namun berbekal pengetahuan yang dimiliki dapat menyimpulkan kebutuhan akan suatu barang yang tidak dapat disediakan pasar, untuk menghasilkan perspektif akademis pembangunan. Pengamat ini bisa pejabat pemerintah, bisa non-pemerintah, atau dari perguruan tinggi.
Menurut penjelasan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, “perencanaan teknokrat dilaksanakan dengan menggunakan metoda dan kerangka pikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu”.
2.             Perencanaan partisipatif
Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (1996) adalah proses perencanaan yang diwujudkan dalam musyawarah ini, dimana sebuah rancangan rencana dibahas dan dikembangkan bersama semua pelaku pembangunan (stakeholders). Pelaku pembangunan berasal dari semua aparat penyelenggara negara (eksekutif,legislatif, dan yudikatif), masyarakat, rohaniwan, dunia usaha, kelompok profesional, organisasi-organisasi non-pemerintah.
Menurut Sumarsono (2010), perencanaan partisipatif adalah metode perencanaan pembangunan dengan cara melibatkan warga masyarakat yang diposisikan sebagai subyek pembangunan.
Menurut penjelasan UU. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional: “perencanaan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki”. Dalam UU No. 25 Tahun 2004, dijelaskan pula “partisipasi masyarakat” adalah keikutsertaan untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.


3.             Perencanaan top down
Menurut Suzetta (1997) adalah proses perencanaan yang dirancang oleh lembaga/departemen/daerah menyusun rencana pembangunan sesuai dengan wewenang dan fungsinya.
4.             Perencanaan bottom up
Menurut (www.actano.com) adalah planning approach starting at the lowest hierarchical level and working upward (pendekatan perencanaan yang dimulai dari tingkatan hirarkis paling rendah menuju ke atas).
Selain itu, menurut penjelasan UU 25 Tahun 2004, pendekatan atas-bawah (top down) dan bawah-atas (bottom up) dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa.
2.2         Tujuan Perencanaan
Tujuan perencanaan menurut Stephen Robbins dan Mary Coulter dalam Wikipedia adalah (1) memberikan pengarahan yang baik; (2) mengurangi ketidakpastian; (3) meminimalisir pemborosan; (4) menetapkan tujuan dan standar yang digunakan dalam fungsi selanjutnya yaitu proses pengontrolan dan evaluasi.
Tujuan perencanaan dari masing-masing proses perencanaan sebagai berikut:
1.      Perencanaan teknokrat
Tujuannya untuk membangun perencanaan strategis dan perencanaan kontingensi, menetapkan ketentuan-ketentuan, standar, prosedur petunjuk pelaksanaan serta evaluasi, pelaporan dan langkah taktis untuk menopang organisasi (Tomatala, 2010).
2.      Perencanaan partisipatif
Tujuannya agar masyarakat diharapkan mampu mengetahui permasalahannya sendiri di lingkungannya, menilai potensi SDM dan SDA yang tersedia, dan merumuskan solusi yang paling menguntungkan.


3.      Perencanaan top down
Tujuannya adalah untuk menyeragamkan “corak”, karena perencanaan top down menurut Djunaedi (2000) dalam kegiatan perencanaan kota dan daerah dilakukan dengan mengacu pada corak yang seragam yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan mengikuti “juklak dan juknis” (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis).
4.      Perencanaan bottom up
Tujuan adalah untuk menghimpun masukan dari “bawah”, karena menurut Sumarsono (2010), apabila di Indonesia perencanaan bottom up dimulai dari tingkat desa, yang biasanya dihadiri oleh mereka yang ditunjuk peraturan perundangan ataupun kebijakan lain, misalnya melalui kegiatan Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) atau Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes).

2.3         Prinsip Perencanaan
Secara umum prinsip perencanaan menurut Abe dalam Ovalhanif (2009) adalah:
1.             Apa yang akan dilakukan, yang merupakan jabaran dari visi dan misi;
2.             Bagaimana mencapai hal tersebut;
3.              Siapa yang melakukan;
4.             Lokasi aktivitas;
5.             Kapan akan dilakukan, berapa lama;
6.             Sumber daya yang dibutuhkan.
Sedangkan menurut Sumarsono (2010) prinsip perencanaan teknokrat dan partisipatif, dijelaskan sebagai berikut: pertama, prinsip perencanaan teknokrat yaitu dilakukan secara sepihak oleh para teknokrat yang duduk di struktur pemerintah, tidak melibatkan warga masyarakat, sehingga perencanaan pembangunan biasanya justru tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan, karena seringkali jauh dari harapan dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat dibiarkan menjadi penonton saja. Kedua, prinsip perencanaan partisipatif yaitu masyarakat sebagai subyek pembangunan dalam arti memberikan peluang masyarakat untuk menggunakan hak-hak politiknya untuk memberikan masukan dan aspirasi dalam penyusunan perencanaan pembangunan.
2.4         Filosofi Perencanaan Program
Menurut Ovalhanif (2009), “filsafat perencanaan” adalah suatu studi tentang prinsip-prinsip dalam proses dan mekanisme perencanaan secara mendalam, luas, dan menyeluruh berdasarkan filsafat antologis, epistemologis, dan aksiologis.
Filsafat perencanaan juga diharapkan akan dapat menguraikan beberapa komponen penting perencanaan dalam sebuah perencanaan yakni tujuan apa yang hendak dicapai, kegiatan tindakan-tindakan untuk merealisasikan tujuan dan waktu kapan bilamana tindakan tersebut hendak dilakukan.
Kerangka pikir dari filosofi perencanaan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.                  Strategi perencanaan adalah untuk membentuk/membuat suatu konsep/konteks untuk keputusan dalam kelembagaan;
2.                  Tujuan dan proses perencanaan adalah untuk merumuskan arah pelembagaan dan berusaha untuk lebih baik;
3.                  Hasil yang diinginkan dari proses perencanaan adalah untuk menyajikan suatu dokumen yang penting, berguna bagi semua orang.
Filosofi perencanaan strategis mengandung visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, program dan kegiatan yang realitas dengan mengantisipasi perkembangan masa depan.
1.             Filosofi Perencanaan Teknokrat
a.       Dilaksanakan oleh kelompok teknorat;
b.      Keberadaan dimensi politik sebagai elemen yang secara signifikan mempengaruhi proses dan hasil perencanaan;
c.       Perencanaan dipersepsikan menjadi sebagai alat pengambilan keputusan yang bebas nilai dan tidak ada urusannya dengan kepentingan dan proses politik yang dilakukan oleh para politikus dan pengambil keputusan. Politik sebagai elemen bebas yang menganggu keseimbangan dalam proses perencanaan yang terjadi;
d.      Menempatkan masyarakat sebagai objek rekayasa dan politik sebagai sebuah elemen irasional dan varian yang harus dihindari;
e.       Produk perencanaan memiliki posisi yang sangat signifikan dalam mentransformasi masyarakat.

2.             Filosofi Perencanaan Partisipatif
Menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifikasian masalah sampai penentuan skala prioritas.
3.             Filosofi Perencanaan top down
a.       Dilaksanakan oleh sekelompok elite politik;
b.      Melibatkan lebih banyak teknokrat;
c.        Mengandalkan otoritas dan diskresi;
d.      Mempunyai argumen untuk meningkatkan efisiensi, penegakan peraturan, konsistensi input-target-output, dan publik/ masyarakat masih sulit dilibatkan.
4.             Filosofi Perencanaan bottom up
a.       Dilaksanakan secara kolektif;
b.      Mengandalkan persuasi;
c.       Mempunyai argumen untuk meningkatkan efektivitas, meningkatkan kinerja (performance, outcome), merupakan social virtue (kearifan sosial), serta masyarakat diasumsikan sudah paham hak-hak dan apa yang mereka butuhkan.








III.       Arti Penting Perencanaan Program Pemberdayaan Masyarakat
            Perencanaan program pemberdayaan sangat penting untuk dilakukan demi keberhasilan program tersebut. Beberapa alasan yang melatarbelakangi diperlukannnya perencanaan program tersebut, antara lain ;
1.      Memberikan acuan dalam mempertimbangkan secara seksama tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melaksanakannya,
2.      Tersedianya acuan tertulis yang dapat digunakan oleh masyarakat (umum),
3.      Sebagai pedoman pengambilan keputusan terhadap adanya usul/saran penyempurnaan yang “baru”,
4.      Memantapkan tujuan-tujuan yang inin dan harus dicapai, yang perkembangannya dapat diukur dan dievaluasi,
5.      Memberikan peringatan yang jelas terhadap pilihan tentang :
a.       Kepentigan dari maslaah-masalah (yang dinilai menuntut perlunya revisi program)
b.      Pemantapan dari perubahan-perubahan sementara (jika memang diperlukan revisi terhadap program)
6.      Mencegah keselaratan dari tujuan akhir, mengembangkan kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan maupun tidak dirasakan
7.      Memberikan kelangsungan dalam diri personal selama proses perubahan berlangsung, artinyasetiap personel yang terlibat dalam pelaksanaan dan evaluasi program selalu merasakan perlunya kontinuitas program sampai tercapainya tujuan yang diharapkan.
8.      Membantu mengembangkan kepemimpinan
9.      Menghindarkan pemborosan sumberdaya (tenaga, biaya, dan waktu), dan merangsang efisiensi pada umumnya.
10.  Menjamin kelayakan kegiatan yang dilakukan didalam masyarakat dan yang dilaksanakan sendiri oleh masyarakat setempat.
Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan, antara lain : pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi; dan kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dua kecenderungan tersebut memberikan (pada titik ekstrem) seolah berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu (Sumodiningrat, Gunawan, 2002).
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable” (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut sebagai alternative development, yang menghendaki ‘inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equaty”.(Kartasasmita, Ginanjar 1997).
Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu
(Sumodiningrat, Gunawan, 2002) ;
1.      menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
2.      memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, pengamalan demokrasi.
3.      memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat
tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian, maka
pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut (Sumodiningrat, Gunawan, 2002) ; pertama, upaya itu harus terarah. Ini yang secara populer disebut pemihakan.Upaya ini ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. Kedua, program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendakdan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka.
Selain itu, sekaligus meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalahmasalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas jika penanganannya dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok ini paling efektif dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien.






IV.    Ukuran Perencanaan Program Yang Baik
Untuk mengetahui seberapajauh perencanaan program yang dirumuskan itutelah "baik", berikut ini disampaikan beberapa acuantentang pengukurannya, yang mencakup:
1.      Analisis fakta dan keadaan. Perencanaan program yang baik harus mengungkapkan hasil analisis fakta dan keadaan yang "lengkap" yang menyangkut:keadaan sumber daya alam, sumber daya manusia, kelembagaan, tersedianya sarana/prasarana, dan dukungan kebijaksanaan, keadaan sosial, keamanan,dan stabilitas politik.
Untuk keperluan tersebut, pengumpulan data dapat dilakukan dengan menghubungi beberapa pihak (seperti: lembaga/aparat pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi profesi, dll) dengan menggunakan berbagai teknik pengumpulan data (wawancara, pengamatan, pencatatan data sekunder, pengalaman empirik, agar data yang terkumpul tidak saja cukup lengkap tetapi juga dijamin kebenarannya.
2.      Pemilihan masalah berlandaskan pada kebutuhan. Hasil analisis fakta dan keadaan biasanya menghasilkan berbagai masalah (baik masalah yang sudah dirasakan maupun belum dirasakan masyarakat setempat). Sehubungan dengan hal ini, perumusan masalah perlu dipusatkan pada masalah-masalah nyata (real problems) yang telah dirasakan masyarakat (felt problems). Artinya, perumusan masalah hendaknya dipusatkan pada masalah-masalah yang dinilai sebagai penyebab tidak terpenuhinya kebutuhannyata (real needs) masyarakat, yang telah dapat dirasakan (felt needs) oleh mereka.
3.      Jelas dan menjamin keluwesan. Perencanaan program harus dengan jelas (dan tegas) sehingga tidak menimbulkan keragu-ragua atau kesalah pengertian dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, didalam kenyataannya, seringkali selama proses pelaksanaan dijumpai hal-hal khusus yang menuntut modifikasi perencanaan yang telah ditetapkan. Sehubungan dengan hat ini, setiap perencanaan harus luwes (memberikan peluang untuk dimodifikasi), sebab jika tidak, program tersebut tidak dapat dilaksanakan, dan pada gilirannya justru tidak dapat mencapai tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan masyarakatnya. Karena itu selain jelas dan tegas, harus berpandangan jauh ke depan.
4.      Merumuskan tujuan dan pemecahan masalah yang menjanjikan kepuasan. Tujuan yang ingin dicapai haruslah menjanjikan perbaikan kesejahteraan atau kepuasan masyarakat sasarannya. Jika tidak, program semacam ini tidak mungkin dapat menggerakkan motivasi masyarakat untuk berpartisipasl didalamnya. Dengan demikian, masyarakat harus tahu betul tentang manfaat apa yang dapat mereka rasakan setelah tujuan program tersebut tercapai. Seringkali, untuk keperluan ini, tujuan-tujuan dinyatakan secara sederhana, tetapi didramatlsir sehingga mampu menggerakkan partisipasi masyarakat bagi tercapainya tujuan.
5.      Menjaga keseimbangan, setiap perencanaan program harus mampu mencakup kepentingan sebagian besar masyarakat, dan bukannya demi kepentingan sekelompok kecil masyarakat saja. Karena itu, setiap pengambilan keputusan harus ditekankan kepada kebutuhan yang harus dlutamakan, yang mencakup kebutuhan orang banyak. Efisiensi, harus diarahkan demi pemerataan kegiatan dan waktu pelaksanaan; dan harap dihindari kegiatan kegiatan yang terlalu besar menumpuk pada penyuluh atau pada masyarakat sasarannya.
6.      Pekerjaan yang jelas, perencanaan program harus merumuskan prosedur dan tujuan serta sasaran kegiatan yang jelas, yang mencakup:
a.        Masyarakat sasarannya
b.      Tujuan, waktudan tempatnya
c.       Metoda yang akan digunakan
d.      Tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak yang terkait (termasuk tenaga sukarela)
e.       Pembagian tugas atau kegiatan yang harus dilaksanakan oleh setiap kelompok personel (penyuluh, masyarakat, dll)
f.       Ukuran-ukuran yang digunakan untuk evaluasi kegiatannya.
7.      Proses yang berkelanjutan Perumusan masalah, pemecahan masalah, dan tindak lanjut (kegiatan yang harus dilakukan) pada tahapan berikutnya harus dinyatakan dalam suatu rangkaian kegiatan yang berkelanjutan. Termasuk di dalam hal ini adalah perubahan perubahan yang perlu dilakukan, selaras dengan perubahan kebutuhan dan masalah yang akan dihadapi.
8.      Merupakan proses belajar dan mengajar Semua pihak yang terlibat dalam perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi program perlu mendapat kesempatan "belajar" dan "mengajar". Artinya masyarakat harus diberi kesempatan untuk belajar mengumpulkan fakta dan keadaan, serta merumuskan sendiri masalah dan cara pemecahan masalahnya. Sebaliknya, penyuluh dan aparat pemerintah yang lain harus mampumemanfaatkan kesempatan tersebut sebagai upaya belajar dari pengalaman masyarakat setempat.
9.      Merupakan proses koordinasi Perumusan masalah, tujuan, dan cara mencapai tujuan, harus melibatkan dan mau mendengarkan kepentingan semua pihak di dalam masyarakat. Oleh sebab itu penting adanya koordinasi untuk menggerakkan semua pihak untuk berpartisipasi di dalamnya. Di lain pihak, koordinasi juga sangat diperlukan dalam proses pelaksanaan kegiatan. Tanpa adanya koordinasi yang baik, tujuan kegiatan tidak akan dapat tercapai seperti yang diharapkan.
10.  Memberikan kesempatan evaluasi proses dan hasilnya Evaluasi sebenarnya merupakan proses yang berkelanjutan dan melekat (builtin) dalam perencanaan program. Oleh sebab itu perencanaan program itu sendiri harus memuat dan memberi kesempatan untuk dapat dilaksanakannya evaluasi, baik evaluasi terhadap proses maupun hasilnya.

 




V.        Filosofi Program Pemberdayaan Masyarakat
Dalam menyusun program perlu diperhatikan filosofi program pemberdayaan masyarakat yang oleh Dahama Bhatnagar (1980 dirumuskan sebagai berikut:
1.                  Bekerja berdasarkan kebutuhan yang dirasakan (felt need), artinya program yang akan dirumuskan harus bertolak dari kebutuhan kebuthan yang telah dirasakan oleh masyarakat, sehingga program itu benar-benar dirasakan sebagai upaya pemecahan masalah atau pencapaian tujuan yang dikehendaki oleh masyarakat sasarannya. Dalam kaitan itu jika  terdapat "kebutuhan nyata" (real need) yang hendak dinyatakan dalam program yang belum dirasakan oleh masyarakat sasaran, terlebih dahulu harus diupayakan menjadi kebutuhan yang dirasakan (felt need). Sebelum kebutuhan nyata tersebut belum merupakan kebutuhan yang dirasakan, sebaiknya jangan dimasukkan ke dalam rumusan program karena tindakan seperti itu akan mengganggu partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program dan pemanfaatan hasil yang dicapai dari pelaksanaan program tersebut. Filosofi ini mengingatkan para perancang perumus program pemberdayaan masyarakat untuk tidak boleh memaksakan kehendaknya sendiri, tetapi harus selalu benar-benar mengacu kepada kebutuhan-kebutuhan yang sudah atau sedang dirasakan oleh masyarakatnya.
2.                  Bekerja dilandasi anggapan bahwa masyarakat ingin dibebaskan dari penderitaan dan kemiskinan. Artinya, setiap program yang dirancang haruslah benar-benar diupayakan untuk dapat memperbaiki mutu kehidupan masyarakat. Program yang dirancang bukan merupakan program yang terlalu banyak menuntut pengorbanan  masyarakat demi tercapainya tujuan-tujuan yang dikehendaki perumus program. Oleh karena itu setiap perumusan program harus mampu merumuskan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meperbaiki mutu kehidupan masyarakat sasaran. Tanpa adanya pemahaman seperti ini, niscaya programtersebut tidak akan memperoleh partisipasi masyarakat, bahkan sebaliknya akan menghadapi berbagai hambatan dan tantangan karena program yang direncanakan itu dinilai akan lebih menyusahkan kehidupan masyarakat yang sudah lama mengalami penderitaan. Semua pihak yang terlibat dalam perumusan program pemberdayaan masyarakat harus membekali dirinya dengan pemahamanbahwa di manapun masyarakat itu berada, pada dasarnya menginginkan suatu perubahan yang menuju ke arah perbaikian mutu hidup atau kesejahteraannya.
3.                  Harus dianggap bahwa masyarakat menginginkan "kebebasan", baik dalammenentukan garis hidupnya sendiri dan memutuskan bentuk-bentuk ekonomi, kepercayaan, lembaga politik dan pendidikan yang mereka inginkan demi tercapainya perbaikan mutu kehidupan mereka. Berkaitan dengan itu, setiap perumusan program harus sejauh mungkin mengajak mereka untuk mengemukakan kebutuhan-kebutuhannya, tujuan-tujuan yang diharapkan, serta alternatif-alternatif pemecahan masalah atau pemilihan kegiatan yang diinginkan masyarakat. Jika terdapat perbedaan pendapat antara kehendak masyarakat dengan perumus program, harus diupayakan adanya dialog atau diskusi dengan mereka untuk meyakinkan bahwa alternatif yang dikemukakan oleh perumus program tersebut memiliki keunggulan-keunggulan yang dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat sasaran. Dialog atau forum diskusi seperti itu harus selalu disediakan untuk menghindari terjadinya pertentangan, hambatan, atau pemborosan enersi yang biasanya tersedia sangat langka.
4.                  Nilai-nilai dalam masyarakat harus dipertimbangkan selayaknya, artinya rumusan program harus sudah mencakup dan mempertimbangkan nilai-nilai kerjasama, keputusan kelompok, tanggung jawab sosial, kepercayaan, dan kemampuan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan. Pertimbangan atas hal-ha seperti itu, di dalam perumusan program pemberdayaan masyarakat seringkali memiliki arti strategis. Sebab setiap kegiatan yang dilakukan dalam masyarakat, harus selalu dilandasi oleh nilai-nilai adat dan kepercayaan yang mereka anut; dan di lain pihak setiap keputusan yang diambil seringkali juga merupakan keputusan kelompok yang menuntut kerjasama dan tanggung jawab bersama untuk dapat dilaksanakan sesuai dengan sumberdaya yang tersedia didalam masyarakatnya sendiri. Karena itu, pengabaian terhadap hal-hal tersebut seringkali berakibat pada tidak tercapainya tujuan seperti yang diharapkan, atau tidak memperoleh partisipasi aktif dari masyarakatnya. Bahkan, pengambilan keputusan seperti itu seringkali merupakan pengalaman  buruk yang akan selalu mewarnai keputusan masyarakat terhadap setiap upaya pembangunan masyarakat di masa-masa mendatang.
5.                  Membantu dirinya sendiri. Artinya, secara nyata warga masyarakat harus diarahkan (atau setidak-tidaknya dilibatkan) untuk mau dan mampu merencanakan dan melaksanakan sendiri setiap pekerjaan yang diupayakan untuk memecahkan masalah mereka  sendiri yang akan dirumuskan dalam program. Jika masyarakat tidak terlibat atau dilibatkan dalam proses perumusan program, seringkali pelaksanaan programnya juga tidak memperoleh partisipasi aktif dari mereka, sehingga seluruh rangkaian kegiatan sejak perencanaan sampai pelaksanaannya dilakukan oleh "orang luar". Dalam keadaan seperti ini, masyarakat sasaran tidak dapat dikaitkan dalam proses membangun. Akibatnya, lambat laun mereka akan kehilangan kepekaan terhadap masalahnya sendiri, tidak memiliki inisiatif dan kreafivitas unfuk memecahkan masalahnya sendiri, dan akan kehilangan kemandiriannya. Sehingga proses pembangunan yang direncanakan justru menumbuhkan kondisi ketergantungan.
6.                  Masyarakat adalah sumberdaya yang terbesar.
Artinya dalam perumusan program  pemberdayaan masyarakat, harus sebesar-besarnya memanfaakan potensi sumberdaya yang tersedia di dalam masyarakat sasaransendiri, baik modal, sumberdaya  alam, sumberdaya manusia, dan kelembagaan yang sudah ada. Dalam hubungan ini, harus selalu diingat bahwa pembangunan yangdilaksanakan adalah  pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat. Sehingga setiap upaya pembangunan harus menggali, mengembangkan, dan memanfaatkan    potensi sumberdaya yang tersedia di masyarakat. Melalui cara seperti ini, proses pembangunan akan memberikan dampak ganda bagi tumbuhnya upaya-upaya pembangunan lanjutan di masa-masa mendatang. Sebab dengan tergarapnya sumberdaya alam, manusia, dan kelembagaan yang ada, akan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan masyarakat untuk berswakarsa dan berswadaya melaksanakan pembangunan dimasa mendatang pada cakupan bidang garapan yang semakin luas pula. Sebaliknya, jika potensi sumberdaya lokal tidak tergarap dan menggantungkan dari luar, pada suatu saat pasti akan kehabisan kemampuan untuk mendatangkan sumberdaya tersebut, dan karena sumberdaya lokal (terutama sumberdaya manusia dan  kelembagaan) tidak pernah tergarap, tidak akan tumbuh inisiatif dan kemampuan baru untuk melaksanakan pembangunan lanjutan, sehingga berhentilah pembangunan di wilayah tersebut.
7.                  Program mencakup perubahan sikap, kebiasaan, dan pola pikir, yang artinya perumusan program harus mencakup banyak dimensi perilaku manusia. Sehubungan ini harus selalu diingat bahwa setiap pembangunan pada dasarnya harus mampu membangun perilaku manusianya. Pembangunan fisik yang tanpa membangun perilaku manusia, seringkali mengakibatkan tidak termanfaatkannya hasil-hasil pembangunan secara maksimal. Sebaliknya, melalui pembangunan yang berakibat pada perubahan perilaku manusianya, akan menghasilkan manusia-manusia yang berjiwa selalu ingin membangun, serta memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pembangunan yang diinginkan. Metodologi Pemberdayaan Masyarakat Pengembangan Masyarakat memiliki sejarah panjang dalam praktek pekerjaan sosial (Payne, 1995; Suharto, 1997). Sebagai sebuah metode pekerjaan sosial, Pengembangan masyarakat memungkinkan pemberi dan penerima pelayanan terlibat dalam proses perencanaan, pengawasan dan evaluasi. Pengembangan masyarakat meliputi berbagai pelayanan sosial yang berbasis masyarakat mulai dari pelayanan preventif untuk anak-anak sampai pelayanan kuratif dan pengembangan untuk keluarga yang berpendapatan rendah. Meskipun Pengembangan masyarakat memiliki peran penting dalam pekerjaan sosial, Pengembangan masyarakat belum sepenuhnya menjadi ciri khas praktek pekerjaan sosial. Pengembangan masyarakat masih menjadi bagian dari kegiatan profesi lain, seperti perencana kota dan pengembang perumahan. Pengembangan masyarakat juga masih sering dilakukan oleh para voluntir dan aktivis pembangunan yang tidak dibayar. Telah terjadi perdebatan panjang mengenai apakah Pengembangan masyarakat dapat dan harus didefinisikan sebagai kegiatan profesional. Yang jelas, Pengembangan masyarakat memiliki tempat khusus dalam khazanah pendekatan pekerjaan sosial, meskipun belum dapat dikategorikan secara tegas sebagai satu-satunya metode milik pekerjaan sosial (Mayo, 1998).
Konsep dan Cakupan Pemberdayaan  Masyarakat Pengembangan masyarakat memiliki fokus terhadap upaya menolong anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pengembangan masyarakat seringkali diimplementasikan dalam bentuk proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggungjawab (Payne, 1995:165).
Pengembangan masyarakat (community development) terdiri dari dua konsep, yaitu “pengembangan” dan “masyarakat”. Secara singkat, pengembangan atau pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial budaya. Masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu (Mayo, 1998:162): Masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan. Masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama pada masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus para orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat phisik) atau bekas para pengguna pelayanan kesehatan mental. Istilah masyarakat dalam Pengembangan masyarakat biasanya diterapkan terhadap pelayanan pelayanan sosial kemasyarakatan yang membedakannya dengan pelayanan pelayanan sosial kelembagaan. Pelayanan perawatan manula yang diberikan di rumah mereka dan/atau dipusat-pusat pelayanan yang terletak di suatu masyarakat merupakan contoh pelayanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan perawatan manula disebuah rumahsakit khusus manula adalah contoh pelayanan sosial kelembagaan. Istilah masyarakat juga sering dikontraskan dengan “negara”. Misalnya, “sektor masyarakat” sering diasosiasikan dengan bentuk-bentuk pemberian pelayanan sosial yang kecil, informal dan bersifat bottom-up. Sedangkan lawannya, yakni “sektor publik”, kerap diartikan sebagai bentuk-bentuk pelayanan sosial yang relatif lebih besar dan lebih birokratis. Pengembangan masyarakat yang berbasis masyarakat seringkali diartikan dengan pelayanan sosial gratis dan swadaya yang biasanya muncul sebagai respon terhadap melebarnya kesenjangan antara menurunnya jumlah pemberi pelayanan dengan meningkatnya jumlah orang yang membutuhkan pelayanan. Pengembangan masyarakat juga umumnya diartikan sebagai pelayanan yang menggunakan pendekatan- pendekatan yang lebih bernuansa pemberdayaan (empowerment) yang memperhatikan keragaman pengguna dan pemberi pelayanan. Dengan demikian, Pengembangan masyarakat dapat didefinisikan sebagai metoda yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya (AMA, 1993).
Menurut Twelvetrees (1991:1) Pengembangan masyarakat adalah “the process of assisting ordinary people to improve their own communities by undertaking collective actions.” Secara khusus Pengembangan masyarakat berkenaan dengan upaya pemenuhan kebutuhan Orang-orang yang tidak beruntung atau tertindas, baik yang disebabkan oleh kemiskinan maupun oleh diskriminasi berdasarkan kelas sosial, suku, jender, jenis kelamin, usia, dan kecacatan. Model-model Pengembangan masyarakat Secara teoretis, Pemberdayaan masyarakat dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pekerjaan sosial yang dikembangkan dari dua perspektif yang berlawanan, yakni aliran kiri (sosialis-Marxis) dan kanan (kapitalis demokratis) dalam spektrum politik. Dewasa ini, terutama dalam konteks menguatnya sistem ekonomi pasar bebas dan “swastanisasi” kesejahteraan sosial, Pemberdayaan masyarakat semakin menekankan pentingnya swadaya dan keterlibatan informal dalam mendukung strategi penanganan kemiskinan dan penindasan, maupun dalam memfasilitasi partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Secara garis besar, Twelvetrees (1991) membagi perspektif Pemberdayaan masyarakat kedalam dua bingkai, yakni pendekatan “profesional” dan pendekatan “radikal”. Pendekatan profesional menunjuk pada upaya untuk meningkatkan kemandirian dan memperbaiki sistem pemberian pelayanan dalam kerangka relasi-relasi sosial. Sementara itu, berpijak pada teori struktural neo-Marxis, feminisme dan analisis antirasis, pendekatan radikal lebih terfokus pada upaya mengubah ketidakseimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan kelompok-kelompok lemah, mencari sebab-sebab kelemahan mereka, serta menganalisis sumber-sumber ketertindasannya. Sebagaimana diungkapkan oleh Payne (1995:166), “This is the type of approach which supports minority ethnic communities, for  example, in drawing attention to inequalities in service provision and in power which lie behind severe deprivation.” Seperti digambarkan oleh Tabel 1, dua pendekatan tersebut dapat dipecah lagi kedalam beberapa perspektif sesuai dengan beragam jenis dan tingkat praktek Pemberdayaan masyarakat. Sebagai contoh, pendekatan profesional dapat diberi label sebagai perspektif (yang) tradisional, netral dan teknikal. Sedangkan pendekatan radikal dapat diberi label sebagai perspektif transformasional (Dominelli, 1990; Mayo, 1998).
Berdasarkan perspektif di atas, Pemberdayaan masyarakat dapat diklasifikasikan kedalam enam model sesuai dengan gugus profesional dan radikal (Dominelli, 1990: Mayo, 1998). Keenam model tersebut meliputi: Perawatan Masyarakat, Pengorganisasian Masyarakat dan Pembangunan Masyarakat pada gugus profesional; dan Aksi Masyarakat Berdasarkan Kelas Sosial, Aksi Masyarakat Berdasarkan Jender dan Aksi Masyarakat Berdasarkan Ras (Warna Kulit) pada gugus radikal (Tabel 2)
1.                  Perawatan Masyarakat merupakan kegiatan volunter yang biasanya dilakukan oleh warga kelas menengah yang tidak dibayar. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi kesenjangan legalitas pemberian pelayanan.
2.                  Pengorganisasian Masyarakat memiliki fokus pada perbaikan koordinasi antara berbagai lembaga kesejahteraan sosial.
3.                  Pembangunan Masyarakat memiliki perhatian pada peningkatan keterampilan dan kemandirian masyarakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
4.                  Aksi Masyarakat Berdasarkan Kelas bertujuan untuk membangkitkan kelompok-kelompok lemah untuk secara Bersama-sama meningkatkan kemampuan melalui strategi konflik, tindakan langsungdan konfrontasi.
5.                  Aksi Masyarakat Berdasarkan Jender bertujuan untuk mengubah relasi-relasi sosial kapitalis patriakal antara laki-laki dan perempuan, perempuan dan negara, serta orang dewasa dan anak-anak.
6.                  Aksi Masyarakat Berdasarkan Ras (Warna Kulit) merupakan usaha untuk memperjuangkan kesamaan kesempatan dan menghilangkan diskriminasi rasial. Model-model Pemberdayaan masyarakat perlu dibangun berdasarkan perspektif alternatif (baik profesional maupun radikal) yang secara kritis mampu memberikan landasan teoritis dan pragmatis bagi praktek pekerjaan sosial. Apapun perspektif dan model yang digunakan, pekerja sosial perlu meningkatkan perangkat pengetahuan, teknik dan keterampilan profesionalnya yang saling melengkapi. Secara umum, beberapa bidang yang harus dikuasai adalah:
a.       Engagement (dengan beragam individu, kelompok, dan organisasi).
b.      Assessment (termasuk assessment kebutuhan dan profile wilayah).
c.       Penelitian (termasuk penelitian aksi partisipatif dengan masyarakat).
d.      Groupwork (termasuk bekerja dengan kelompok pemecah masalah maupun kelompok-kelompok kepentingan).
e.       Negosiasi (termasuk bernegosiasi secara konstruktif dalam situasi-situasi konflik).
f.       Komunikasi (dengan berbagai pihak dan lembaga).
g.      Konseling (termasuk bimbingan dan pemberdayaan masyarakat terhadap masyarakat dengan beragam latar kebudayaan)
h.      Manajemen sumber (termasuk manajemen waktu dan aplikasi-aplikasi untuk memperoleh bantuan).
i.        Pencatatan dan pelaporan.
j.        Monitoring dan evaluasi. Pekerja sosial juga memerlukan pengetahuan mengenai kebijakan sosial, sistem negara kesejahteraan (welfare state), dan hak-hak sosial masyarakat, termasuk pengetahuan-pengetahuan khusus dalam bidang-bidang dimana praktek pekerjaan sosial beroperasi, seperti: kebijakan kesejahteraan sosial dan kesehatan, praktek perawatan masyarakat, peraturan dan perundang-undangan perlindungan anak, serta perencanaan sosial termasuk perencanaan wilayah(perkotaan dan pedesaan) dan perumahan. Sebagai tambahan, seperti diungkapkan oleh Mayo (1994:74).
Perencanaan Pemberdayaan Masyarakat Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat dapat dilakukan melalui penetapan sebuah program atau proyek pembangunan. Secara garis besar, perencanannya dapat dilakukan dengan mengikuti 6 langkah perencanaan.
1.                  Perumusan masalah. Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan berdasarkan masalah atau kebutuhan-masyarakat setempat. Beberapa masalah yang biasanya ditangani oleh Pemberdayaan Masyarakatberkaitan dengan kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, pemberantasan buta hurup, dll. Perumusan masalah dilakukan dengan menggunakan penelitian (survey, wawancara, observasi), diskusi kelompok, rapat desa, dst.
2.                  Penetapan program. Setelah masalah dapat diidentifikasi dan disepakati sebagai prioritas yang perlu segera ditangani, maka dirumuskanlah program penanganan masalah tersebut.
3.                  Perumusan tujuan. Agar program dapat dilaksanakan dengan baik dan keberhasilannya dapat diukur perlu dirumuskan apa tujuan dari program yang telah ditetapkan. Tujuan yang baik memilikikarakteristik jelas dan spesifik sehingga tercermin bagaimana cara mencapai tujuan tersebut sesuai dengan dana, waktu dan tenaga yang tersedia.
4.                  Penentuan kelompok sasaran. Kelompok sasaran adalah sejumlah orang yang akan ditingkatkan kualitas hidupnya melalui program yang telah ditetapkan.
5.                  Identifikasi sumber dan tenaga pelaksana. Sumber adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menunjang program kegiatan, termasuk didalamnya adalah sarana, sumber dana, dan sumber daya manusia.
6.                  Penentuan strategi dan jadwal kegiatan. Strategi adalah cara atau metoda yang dapat digunakan dalam melaksanakan program kegiatan.
7.                  Monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk memantau proses dan hasil pelaksanaan program. Apakah program dapat dilaksanakan sesuai dengan strategi dan jadwal kegiatan? Apakah program sudah mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan? suatu kegiatanindikator keberhasilan.






 


VI.    Lingkup Materi Perencanaan Program Pemberdyaan Masyarakat
Lingkup materi pemberdayaan masyarakat harus mencakup aspek kegiatan yang berkaitan dengan upaya-upaya peningkatan produksi, peningkatan pendapatan, serta kesejahteraan masyarakat penerima manfaatnya.
6.1         Peningkatan Produksi
Terbatasnya kemampuan sumber daya dalam memuaskan kebutuhan manusia yang tidak terbatas, mendorong setiap orang yang bergerak dalam bidang produksi untuk berpikir dalam memecahkan persoalan tersebut. Di sampain kuantitas atau jumlah hasil produksi yang ditingkatkan, juga yang harus dipikirkan dan lakukan adalah memperbaiki dan meningkatkan mutu atau kualitas hasil prduksi.
Kedua hal ini (kuantitas dan kualitas) sangat penting harus terus dilakukan terutama dalam upaya untuk menghindari kelangkaan hasil produksi. Apalagi pertambahan jumlah manusia terus meningkat yang menyebabkan bertambahnya pula kebutuhan akan barang.
Upaya-upaya apa yang mesti dilakukan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil produksi ini? Peningkatan kuantitas dan kualitas hasil produksi dapat dilakukan dengan upaya-upaya berikut ini :
1.             Intensifikasi
Intensifikasi adalah usaha meningkatkan hasil produksi dengan cara menambah dan/atau memperluas faktor-faktor produksi (sumber daya ekonomi) yang digunakan. Contohnya:
a.       Meningkatkan kualitas tenaga kerja
b.      Memperbaiki cara berproduksi
c.       Peninngkatan jam operasi mesin
d.      Menerapkan panca atau sapta usaha tani dalam bidang pertanian
Panca (lima) usaha tani meliputi :
a.       Penggunaan bibit unggul
b.      Pengolahan tanah yang baik
c.       Penggunaan pupuk yang tepat
d.      Pengendalian dan pemberantasan hama atau penyakit tanaman
e.       Pengairan atau irigasi
Sedangkan Sapta (tujuh) Usaha tani meiliputi : Panca Usaha Tani ditambah dengan pasca panen dan pemasaran hasil pertanian.

2.             Ekstensifikasi
Ekstensifikasi adalah usaha meningkatkan hasil produksi dengan memperluas atau menambah faktor-faktor produksi. Contoh upaya yang dapat dilakukan pada ekstensifikasi produksi ini, sebagai berikut :
a.       Membuka lahan pertanian
b.      Mendirikan pabrik baru atau cabang-cabang pabrik/perusahaan
c.       Penambahan jumlah armada angkutan

3.             Diversifikasi
Diversifikasi adalah usaha untuk meningkatkan produksi dengan cara menambah jenis/keanekaragaman hasil produksi. Diversifikasi dilakukan perusahaan bertujuan selain untuk menambah jumlah hasil produksi, juga dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan dan menutup kerugian yang mungkin terjadi apabila salah satu/sebagian hasil produksi ternyata tidak laku di pasar.  Contohnya : Selain menanam padi, pada lahan yang masih kosong ditanami juga palawija, Selain menghasilkan kain juga memproduksi pakaian jadi, Selain memproduksi televisi dibuat pula antena televisi, radio, dan amplifier

4.             Rasionalisasi
Rasionalisasi adalah usaha meningkatkan mutu dan hasil produksi dengan cara meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Contoh yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut :
 Untuk menghemat tenaga kerja dan efektivitas produksi, maka digunakan tenaga kerja mesin. Melaksanakan kegiatan produksi dengan menerapkan menejemen yang baik.



6.2         Upaya Peningkatan Pendapatan
Pendapatan masyarakat sebagaimana pemikiran Rosyidi (2006 : 100-101) adalah arus uang yang mengalir dari pihak dunia usaha kepada masyarakat dalam bentuk upah dan gaji, bunga, sewa dan laba. Dan bahwa pendapatan perseorangan (personal income) terdiri atas sewa upah dan gaji, bunga, laba perusahaan bukan perseroan, dividen dan pembayaran transfer.
Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan ekonomi sesuai dengan pendapat para ahli dari aliran teori strukturalis. Hadi Prayitno dan Budi Santoso (1998:50) mengemukakan bahwa strategi pembangunan di negara berkembang akan lebih baik jika menggunakan strategi pembangunan berupa penciptaan lapangan kerja, reinvestasi, pemenuhan kebutuhan hidup pokok, pengembangan sumberdaya manusia, mengutamakan sektor petanian, mengembangkan sektor pedesaan terpadu dan penataan ekonomi nasional, sedangkan strategi pembangunan dalam era otonomi harus mengacu kepada berkembangnya otonomi daerah dan semakin meningkatnya kemandirian dan kemampuan daerah dalam penyelenggaraan pembangunan, yang bermuara kepada tercapainya sasaran pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah, meningkatnya tarap hidup dan kesejahteraan masyarakat, berkuranggnya penduduk miskin dan desa tertinggal serta meningkatnya partisipasi aktif dari masyarakat.
Sejalan dengan pendapat diatas menurut Sumondiningrat (1999: 58) dalam rangka mencapai masyarakat yang sejahtera dibutuhkan strategi pembangunan yang berkelanjutan yang pada hakekatnya berorientasi kepada peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan manusia dengan mengikutsertakan segala lapisan masyarakat dalam proses pembangunan, disampingi itu pembangunan yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat merupakan suatu proses yang muncul dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk dinikmati oleh masyarakat secara berkesinambungan.
Pemberdayaan adalah bagian dari paradigma pembangunan yang memfokuskan perhatiannya pada semua aspek yang prinsipil dari manusia di lingkungannya, yakni mulai dari aspek intelektual (sumber daya manusia), aspek material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial. Aspek-aspek tersebut bisa jadi dikembangkan menjadi aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, keamanan, dan lingkungan. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial, konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering, and sustainable" (Chambers dalam Kartasamita, 1997: 6). Upaya memberdayakan masyarakat, Kartasamita (1997: 13) mengemukakan pemikirannya bahwa dalam kerangka memberdayakan masyarakat, dapat dilihat dari tiga sisi, yakni: 1) Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. 2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. 3) Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang sangat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi, seperti; modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar, baik fisik seperti; irigasi, jalan, dan listrik, ataupun sosial seperti; sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, di mana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya cukup minim.Untuk itu perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku untuk semua, tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini. Pemberdayaan masyarakat bukan untuk membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity), karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan demikian maka tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kekuatan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.

6.3         Kesejahteraa Masyarakat

Istilah kesejahteraan bukanlah hal yang baru, baik dalam wacana global maupun nasional. Dalam membahas analisis tingkat kesejahteraan, tentu kita harus mengetahui pengertian sejahtera terlebih dahulu. Kesejahteraan itu meliputi keamanan, keselamatan, dan kemakmuran. Pengertian sejahtera menurut W.J.S Poerwadarminta adalah suatu keadaan yang aman, sentosa, dan makmur. Dalam arti lain jika kebutuhan akan keamanan, keselamatan dan kemakmuran ini dapat terpenuhi, maka akan terciptalah kesejahteraan.
Menurut Undang-undang No 11 Tahun 2009, tentang Kesejahteraan Masyarakat, kesejahteraan masyarakat adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Dari Undang–Undang di atas dapat kita cermati bahwa ukuran tingkat kesejahteraan dapat dinilai dari kemampuan seorang individu atau kelompok dalam usaha nya memenuhi kebutuhan material dan spiritual nya. Kebutuhan material dapat kita hubungkan dengan pendapatan yang nanti akan mewujudkan kebutuhan akan pangan, sandang, papan dan kesehatan. Kemudian kebutuhan spiritual kita hubungkan dengan pendidikan, kemudian keamanan dan ketentaraman hidup.
Menurut Mosher (1987), hal yang paling penting dari kesejahteraaan adalah pendapatan, sebab beberapa aspek dari kesejahteraan rumah tangga tergantung pada tingkat pendapatan. Pemenuhan kebutuhan dibatasi oleh pendapatan rumah tangga yang dimiliki, terutama bagi yang berpendapatan rendah. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga maka persentase pendapatan untuk pangan akan semakin berkurang. Dengan kata lain, apabila terjadi peningkatan tersebut tidak merubah pola konsumsi maka rumah tangga tersebut sejahtera. Sebaliknya, apabila peningkatan pendapatan rumah tangga dapat merubah pola konsumsi maka rumah tangga tersebut tidak sejahtera.
Menurut konsep lain, kesejahteraan bisa di ukur melalui dimensi moneter maupun non moneter, misalnya ketimpangan distribusi pendapatan, yang didasarkan pada perbedaan tingkat pendapatan penduduk di suatu daerah. Kemudian masalah kerentanan (vulnerability), yang merupakan suatu kondisi dimana peluang atau kondisi fisik suatu daerah yang membuat seseorang menjadi miskin atau menjadi lebih miskin pada masa yang akan datang. Hal ini merupakan masalah yang cukup serius karena bersifat struktural dan mendasar yang mengakibatkan risiko-risiko sosial ekonomi dan akan sangat sulit untuk memulihkan diri (recover). Kerentanan merupakan suatu dimensi kunci dimana perilaku individu dalam melakukan investasi, pola produksi, strategi penanggulangan dan persepsi mereka akan berubah dalam mencapai kesejahteraan.
Kesejahteraan pada intinya mencakup tiga konsepsi, yaitu:
1.      Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial.
2.      Institusi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial.
3.      Aktivitas, yakni suatu kegiatan-kegiatan atau usaha yang terorganisir untuk mencapai sejahtera.
Biro Pusat Statistik Indonesia (2000) menerangkan bahwa guna melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga suatu wilayah ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuruan, antara lain adalah:
a)      Tingkat pendapatan keluarga
b)      Komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan pengeluaran untuk pangan dengan non-pangan
c)      Tingkat pendidikan keluarga
d)     Tingkat kesehatan keluarga
e)      Kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga.
 

Comments

Popular posts from this blog

KEBERHASILAN KOMUNIKASI BISNIS

II. PENGERTIAN KOMUNIKASI 2.1   Pengertian Komunikasi Secara epistemologis, istilah kata komunikasi berasal dari bahasa latin, yakni communication dan bersumber dari kata communis yang berarti “sama”. Jika diartikan secara sederhana, berarti komunikasi adalah sebuah proses yang bermuara pada usaha untuk mendapatkan kesamaan makna dan pemahaman pada subjek yang melakukan proses komunikasi tersebut. Menurut Dr. Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii, komunikasi merupakan bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya dengan bernafas, jadi sepanjang manusia ingin hidup, maka ia perlu berkomunikasi (Cangara, 2003). Wilbur Schramm menyatakan bahwa komunikasi dan masyarakat adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan karena kedua aspek itu saling melengkapi dalam pelaksanaannya. Sedangkan Harold Lasswell juga mengatakan bahwa cara terbaik untuk menerangkan kegiatan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan “siapa-berkata apa-melalui saluran apa-kepada siapa-dengan

BARANG - BARANG INDONESIA YANG DIEKSPOR KE LUAR NEGERI

(Geografi Industri) Pengertian/ Definisi Ekspor dan Impor Kegiatan menjual barang atau jasa ke negara lain disebut ekspor , sedangkan kegiatan membeli barang atau jasa dari negara lain disebut impor , kegiatan demikian itu akan menghasilkan devisa bagi negara. Devisa merupakan masuknya uang asing kenegara kita dapat digunakan untuk membayar pembelian atas impor dan jasa dari luar negeri. Kegiatan impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Produk impor merupakan barang-barang yang tidak dapat dihasilkan atau negara yang sudah dapat dihasilkan,tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan rakyat. Keuntungan Ekspor Keuntungan ekspor antara lain adalah : 1). Memperluas Pasar bagi Produk Indonesia   Kegiatan ekspor merupakan salah satu cara untuk memasarkan produk Indonesia ke luar negeri. Contohnya batik Indonesia yang mulai dikenal di dunia, jika permintaan batik di luar negeri meningkat maka produsen batik di indonesia akan semakin luas pemasaranya. Dengan demikian